Minggu Biasa XV
Bacaan: Yes. 55:10-11; Rm. 8:18-23; Mat. 13:1-23
Selama bulan Mei yang lalu kita diajak berdoa rosario bumi (Laudato Si). Selain untuk kebutuhan sisi rohani, lewat devosi rosario umat diajak untuk peduli bumi di tengah pandemi Covid-19. Banyak group WA yang saling sharing tentang bertanam buah atau sayuran, teknik hidroponik atau konvensional. Yang selalu dibahas adalah soal bibit yang berkualitas. Apakah setiap bibit yang ditawarkan itu menjamin untuk bisa tumbuh sesuai yang kita harapkan?
Pada hari Minggu Biasa Pekan XV ini kita akan mendengarkan bacaan-bacaan Kitab Suci, yang berkaitan dengan benih atau bibit kehidupan. Namun bukan benih tanaman sungguhan, namun ungkapan tentang firman Tuhan, bibit atau benih yang memberi harapan hidup kita di tengah-tengah kesulitan kehidupan. Walau ada kelonggaran dalam masa pandemik Covid-19 ini, dalam kenyataannya kita toh masih merasa cemas, mengalami kesulitan dan bahkan merasa menderita dengan situasi pandemik ini.
Dalam bacaan kedua, rasul Paulus menggambarkan semua penderitaan kita, seperti pandemi Covid-19, sakit penyakit, kehilangan pekerjaan sehingga terjadi kemiskinan, atau berbagai apa pun bentuknya, harus dianggap sebagai tidak berarti, jangan dibuat sedih, kecewa dan putus asa. Kelihatannya gampang untuk mengatakan hal itu, namun pasti tidak mudah menghadapi kesedihan, kekecewaan atau keputusasaan. Walau situasi demikian, dalam suratnya hari ini Rasul Paulus meyakinkan kita bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Rasul Paulus mengajak kita untuk tetap optimis, memiliki pengharapan akan berkat yang akan dianugerahkan kepada orang yang percaya pada firman Tuhan.
Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan “Sabda pandita ratu tan kena wola wali” atau yang artinya kurang lebih bahwa ucapan dari seorang yang tinggi martabatnya tidak boleh berganti-ganti ucapan atau keputusan. Karena kata-kata seorang yang tinggi martabatnya, seperti raja atau pemimpin itu, sekali mengucapkan perkataannya, maka ucapannya akan terjadi. Pernyataan bahwa perkataan yang memiliki daya kuasa, diungkapkan dalam bacaan pertama. Nabi Yesaya mengungkapkan bahwa apa yang diucapkan Allah menjadi nyata dan Allah tak akan menarik lagi apa yang telah dikatakanNya. FirmanNya terus mengalir seperti hujan dan salju, yang melaksanakan tugasnya memberi kehidupan kepada orang yang menerima dan mempercayaiNya. Apa yang dimaksudkan oleh Yesaya tentang FirmanNya tersebut tidak lain adalah nubuatan akan kehadiran diri Yesus Kristus, Sang Firman itu sendiri.
Nubuatan kehadiran Yesus, oleh para nabi, termasuk nabi Yesaya, telah menjadi kenyataan, “Sabda telah menjadi daging" (bdk. Yoh 1:14). Sabda menjadi manusia, supaya kita "mengambil bagian dalam kodrat ilahi" (2 Ptr 1:4): "Untuk itulah Sabda Allah menjadi manusia, dan Anak Allah menjadi anak manusia, supaya manusia menerima Sabda dalam dirinya, dan sebagai anak angkat, menjadi anak Allah" (Ireneus, haer. 3,19,1). Sabda Allah "menjadi manusia, supaya kita di-ilahi-kan" (Atanasius, inc. 54,3). "Karena Putera Allah yang tunggal hendak memberi kepada kita bagian dalam ke-Allah-an-Nya, Ia menerima kodrat kita, menjadi manusia, supaya mengilahikan manusia" (bdk. KGK 460).
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyatakan DiriNya adalah Sang Firman itu, yang ditaburkan oleh Allah lewat para nabi, namun ditanggapi dengan aneka macam. Yesus menyampaikan bahwa bahwa sabda Tuhan itu diperuntukan bagi siapa saja (bdk. Mat 13: 17). Namun, benih iman itu tidak bisa diterima dengan mudahnya oleh umat manusia. Tidak setiap orang bisa menumbuhkembangkan Sabda itu dan menghasilkan buah berlimpah bagi kehidupannya. Ada benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda. Apa maksud perumpamaan Yesus itu bagi kehidupan kita sebagai muridNya?
Dari perumpamaan itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa diri kita adalah “tanah atau lahan” bagi DiriNya. Jadi fokus dari perumpamaan Yesus adalah tentang diri kita, bukan tentang “benih” atau yang menaburkan benih itu. Jika kita hendak berkebun, tentu kita harus terlebih dahulu mempersiapkan lahan, yang harus kita olah agar bibit yang kita tanam dapat tumbuh subur dan memberi hasilnya. Benih tanaman sebaik apa pun, kalau kita tanam di tempat bebatuan, semak belukar dan berduri, apalagi tanah yang kering kerontang, pastilah tidak akan tumbuh dengan sempurna. Melalui perumpamaanNya hari ini, Tuhan Yesus mengajar kita bahwa kita adalah lahan bagi benihNya. Dalam kehidupan nyata, kita akan mengalami tantangan iman baik yang sifatnya duniawi maupun imani, yang bisa membawa kepada kemurtadan. Sebaliknya, jika kita teguh dalam kesetiaan dan ketaatan iman dengan menerima Yesus dan pewartaanNya, mendengarkan dan menuruti FirmanNya, serta menjalankan kehendak Allah dalam FirmanNya, maka kita akan menjadi tanah yang subur bagi benih sabdaNya. Dengan demikian, kita yang menghasilkan buah berlimpah, akan peroleh hidup kekal (bdk. Mat 13: 23).
Kita menyadari bahwa untuk menjadi tanah yang subur tentu tidaklah mudah. Sebagai orang beriman, kita harus secara terus menerus mau mengolah diri kita, dengan menggunakan telinga kita untuk peka mendengar setiap firman Tuhan (bdk. Mat 13: 9). Sabda Tuhan adalah benih bagi kehidupan kita. Semoga kita terus menerus mau memohon bimbingan Roh Kudus, agar kita dimampukan menjadi tanah yang subur bagi setiap firmanNya.
Semoga Tuhan memberkati kita dan Selamat Berhari Minggu.
Antonius Purbiatmadi
Bacaan: Yes. 55:10-11; Rm. 8:18-23; Mat. 13:1-23
Selama bulan Mei yang lalu kita diajak berdoa rosario bumi (Laudato Si). Selain untuk kebutuhan sisi rohani, lewat devosi rosario umat diajak untuk peduli bumi di tengah pandemi Covid-19. Banyak group WA yang saling sharing tentang bertanam buah atau sayuran, teknik hidroponik atau konvensional. Yang selalu dibahas adalah soal bibit yang berkualitas. Apakah setiap bibit yang ditawarkan itu menjamin untuk bisa tumbuh sesuai yang kita harapkan?
Pada hari Minggu Biasa Pekan XV ini kita akan mendengarkan bacaan-bacaan Kitab Suci, yang berkaitan dengan benih atau bibit kehidupan. Namun bukan benih tanaman sungguhan, namun ungkapan tentang firman Tuhan, bibit atau benih yang memberi harapan hidup kita di tengah-tengah kesulitan kehidupan. Walau ada kelonggaran dalam masa pandemik Covid-19 ini, dalam kenyataannya kita toh masih merasa cemas, mengalami kesulitan dan bahkan merasa menderita dengan situasi pandemik ini.
Dalam bacaan kedua, rasul Paulus menggambarkan semua penderitaan kita, seperti pandemi Covid-19, sakit penyakit, kehilangan pekerjaan sehingga terjadi kemiskinan, atau berbagai apa pun bentuknya, harus dianggap sebagai tidak berarti, jangan dibuat sedih, kecewa dan putus asa. Kelihatannya gampang untuk mengatakan hal itu, namun pasti tidak mudah menghadapi kesedihan, kekecewaan atau keputusasaan. Walau situasi demikian, dalam suratnya hari ini Rasul Paulus meyakinkan kita bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Rasul Paulus mengajak kita untuk tetap optimis, memiliki pengharapan akan berkat yang akan dianugerahkan kepada orang yang percaya pada firman Tuhan.
Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan “Sabda pandita ratu tan kena wola wali” atau yang artinya kurang lebih bahwa ucapan dari seorang yang tinggi martabatnya tidak boleh berganti-ganti ucapan atau keputusan. Karena kata-kata seorang yang tinggi martabatnya, seperti raja atau pemimpin itu, sekali mengucapkan perkataannya, maka ucapannya akan terjadi. Pernyataan bahwa perkataan yang memiliki daya kuasa, diungkapkan dalam bacaan pertama. Nabi Yesaya mengungkapkan bahwa apa yang diucapkan Allah menjadi nyata dan Allah tak akan menarik lagi apa yang telah dikatakanNya. FirmanNya terus mengalir seperti hujan dan salju, yang melaksanakan tugasnya memberi kehidupan kepada orang yang menerima dan mempercayaiNya. Apa yang dimaksudkan oleh Yesaya tentang FirmanNya tersebut tidak lain adalah nubuatan akan kehadiran diri Yesus Kristus, Sang Firman itu sendiri.
Nubuatan kehadiran Yesus, oleh para nabi, termasuk nabi Yesaya, telah menjadi kenyataan, “Sabda telah menjadi daging" (bdk. Yoh 1:14). Sabda menjadi manusia, supaya kita "mengambil bagian dalam kodrat ilahi" (2 Ptr 1:4): "Untuk itulah Sabda Allah menjadi manusia, dan Anak Allah menjadi anak manusia, supaya manusia menerima Sabda dalam dirinya, dan sebagai anak angkat, menjadi anak Allah" (Ireneus, haer. 3,19,1). Sabda Allah "menjadi manusia, supaya kita di-ilahi-kan" (Atanasius, inc. 54,3). "Karena Putera Allah yang tunggal hendak memberi kepada kita bagian dalam ke-Allah-an-Nya, Ia menerima kodrat kita, menjadi manusia, supaya mengilahikan manusia" (bdk. KGK 460).
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyatakan DiriNya adalah Sang Firman itu, yang ditaburkan oleh Allah lewat para nabi, namun ditanggapi dengan aneka macam. Yesus menyampaikan bahwa bahwa sabda Tuhan itu diperuntukan bagi siapa saja (bdk. Mat 13: 17). Namun, benih iman itu tidak bisa diterima dengan mudahnya oleh umat manusia. Tidak setiap orang bisa menumbuhkembangkan Sabda itu dan menghasilkan buah berlimpah bagi kehidupannya. Ada benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda. Apa maksud perumpamaan Yesus itu bagi kehidupan kita sebagai muridNya?
Dari perumpamaan itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa diri kita adalah “tanah atau lahan” bagi DiriNya. Jadi fokus dari perumpamaan Yesus adalah tentang diri kita, bukan tentang “benih” atau yang menaburkan benih itu. Jika kita hendak berkebun, tentu kita harus terlebih dahulu mempersiapkan lahan, yang harus kita olah agar bibit yang kita tanam dapat tumbuh subur dan memberi hasilnya. Benih tanaman sebaik apa pun, kalau kita tanam di tempat bebatuan, semak belukar dan berduri, apalagi tanah yang kering kerontang, pastilah tidak akan tumbuh dengan sempurna. Melalui perumpamaanNya hari ini, Tuhan Yesus mengajar kita bahwa kita adalah lahan bagi benihNya. Dalam kehidupan nyata, kita akan mengalami tantangan iman baik yang sifatnya duniawi maupun imani, yang bisa membawa kepada kemurtadan. Sebaliknya, jika kita teguh dalam kesetiaan dan ketaatan iman dengan menerima Yesus dan pewartaanNya, mendengarkan dan menuruti FirmanNya, serta menjalankan kehendak Allah dalam FirmanNya, maka kita akan menjadi tanah yang subur bagi benih sabdaNya. Dengan demikian, kita yang menghasilkan buah berlimpah, akan peroleh hidup kekal (bdk. Mat 13: 23).
Kita menyadari bahwa untuk menjadi tanah yang subur tentu tidaklah mudah. Sebagai orang beriman, kita harus secara terus menerus mau mengolah diri kita, dengan menggunakan telinga kita untuk peka mendengar setiap firman Tuhan (bdk. Mat 13: 9). Sabda Tuhan adalah benih bagi kehidupan kita. Semoga kita terus menerus mau memohon bimbingan Roh Kudus, agar kita dimampukan menjadi tanah yang subur bagi setiap firmanNya.
Semoga Tuhan memberkati kita dan Selamat Berhari Minggu.
Antonius Purbiatmadi