Hukum yang Pertama dan Terutama: Hukum Kasih

author photo October 29, 2023
Minggu, 29 Oktober 2023
Minggu Biasa XXX Tahun A
Bacaan: Keluaran 22:21-27; 1Tesalonika 1:5c-10; Matius 22:34-40

Pada tanggal 7 Oktober hingga 15 Oktober 2023, serangkaian gempa bumi berkekuatan magnitudo 6.3M melanda Provinsi Herat, Afghanistan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengonfirmasi bahwa 90% dari korban meninggal dunia akibat gempa bumi tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Penyebab utamanya adalah adanya aturan pemerintah yang melarang wanita untuk berpergian seorang diri. Akibat larangan ini, semua wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah karena suami mereka bekerja di ladang. Saat gempa terjadi, tidak ada bangunan yang selamat dan semua wanita serta anak-anak tertimbun di bawahnya. Para lelaki yang hendak menolong mereka pun dilarang oleh penguasa setempat untuk menyentuh wanita yang bukan isteri atau keluarga mereka. Aturan ini juga berlaku bagi paramedis yang bertugas di rumah sakit. Dengan situasi ini, banyak wanita dan anak-anak yang tidak tertolong dan dibiarkan meninggal di tempat.

Hukum sering diidentikkan dengan aturan-aturan yang kaku, mengikat dan disertai hukuman-hukuman yang berat bila melanggarnya. Pada perikope Injil hari ini, orang-orang Farisi menanyakan kepada Yesus tentang hukum yang paling utama dalam hukum Taurat (bdk. Mat 22: 36). Mereka ingin melihat seberapa dalam pengetahuan Yesus tentang agama. Pertanyaan ini membuat orang berpikir, dari 613 perintah dalam hukum Taurat, ada tentunya yang paling utama atau paling agung. Mereka ingin tahu apakah Yesus memiliki kemampuan untuk menimbang-nimbang bobot tiap hukum dalam Taurat dan tidak hanya asal kutip hukum Taurat saja. Orang Farisi menyadari bahwa tidak semua aturan ini sama bobotnya demikian pula Yesus. Hal ini nampak jelas ketika Yesus menjelaskan pelaksanaan hukum hari Sabat (bdk. Mat 12:1-14). Hukum untuk menguduskan hari Sabat bisa diletakkan di bawah kewajiban berkurban dan melaksanakan belas kasih kepada sesama.

Menjawab pertanyaan orang Farisi ini, Yesus menjawabnya dengan mengutarakan dua perintah dan menegaskan bahwa dua perintah ini sebagai tempat bergantungnya semua hukum Taurat dan kitab para Nabi (bdk. Mat 22:37-40). Perintah pertama adalah: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”(Mat.22: 37; Ul.6:5). Bagi orang Yahudi, hati bukan saja tempat perasaan namun juga menjadi tempat berpikir. Ini sangat menarik karena dengan memberi jawaban segenap hati ini, Yesus hendak menunjukkan kepada orang Farisi bahwa Dia juga mengerti hukum Taurat dan tidak kalah dengan para ahli Taurat. Perintah kedua yang sama bobotnya dengan perintah pertama adalah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”(Mat. 22: 39; Im.19:18). Sebagai manusia, kita semua pernah mengalami pahit getirnya kehidupan. Perintah kedua ini, yang bobotnya sama dengan perintah pertama, mengingatkan kita agar saat kita merasa lebih beruntung, kita musti mau membantu mereka yang sedang kesusahan. Mengasihi sesama ini dibahas dalam perikope bacaan pertama, dimana orang Israel diingatkan Tuhan untuk tidak menindas orang asing, karena mereka pernah mengalami pahitnya ditindas bangsa asing di Mesir (Ul.22:21). Mereka juga diingatkan untuk tidak menindas para janda dan anak yatim (bdk. Ul 22:22), orang miskin (Ul. 22: 25) dan teman kita sendiri (bdk. Ul.22:26). Kita yang merasa lebih beruntung musti mau membantu mereka yang sedang dalam kondisi sulit.

Kedua jawaban Yesus di atas tidak lain adalah Hukum Kasih yang ditempatkan-Nya sebagai hukum yang pertama dan terutama. Yesus mengingatkan bahwa mengasihi Tuhan dan sesama musti menjadi prioritas kehidupan kita. Kita diminta untuk memberikan diri kita sepenuhnya kepada Allah dan sesama.  Dengan kata lain, kita musti memberikan kasih yang utuh kepada Tuhan dan sesama dan tidak setengah-setengah. Dengan kasih yang utuh itu kita tidak akan pernah berpikir untuk mencari kesalahan orang lain bahkan bertindak seperti “Tuhan” dengan menghukum sesama kita. Dengan kasih yang utuh kita akan bisa memberikan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama. Dengan kasih yang utuh kita akan mampu menghindari hal-hal yang kurang berkenan di hati Tuhan dan sesama. Kita tidak akan tega untuk berbuat semana-mena kepada sesama kita serta tidak akan mampu berbuat kejam kepada sesama kita. Bila hal-hal itu masih kita langgar, ini berarti kita belum mampu sepenuhnya mencintai Tuhan dan sesama. 

Menjadi permenungan kita hari ini:
  • Apakah kepergianku ke Gereja setiap hari Minggu untuk menghadiri perayaan Ekaristi sebagai wujud kasihku kepada Tuhan? Ataukah masih sekedar kewajiban saja?
  • Apakah selama ini aku langsung bertindak cepat membantu sesamaku yang berkesusahan tanpa memandang suku, ras dan agama? Ataukah aku melakukan semua itu hanya sekedar ingin mendapat pujian? Atau aku masih memilih-milih mereka yang hendak aku bantu, misal teman-teman dekat saja?

Semoga bacaan pada minggu ini membuat kita lebih mampu untuk memberikan kasih yang utuh kepada Tuhan dan sesama.

Selamat berhari Minggu.

Semoga Tuhan Yesus memberkati kita.

Kristophorus Wahyu Nugroho Utomo
Sie Kitab Suci – Maria Bunda Segala Bangsa


Sumber Ilustrasi: istimewa
 


Next article Next Post
Previous article Previous Post