Minggu, 3 Oktober 2021
Minggu Biasa XXVII
Bacaan: Kej. 2:18-24, Ibr. 2:9-11, Mrk. 10:2-16
Mungkin Anda pernah mendengar atau membaca kisah seorang profesor yang melakukan riset kecil kepada para mahasiswanya. Profesor tersebut ingin tahu tanggapan akan pilihan dengan siapa jika ingin hidup terus bersamanya. Kepada seorang mahasiswanya, yang kebetulan sudah berkeluarga, profesor itu meminta pria itu harus menentukan 10 orang paling dekat dengannya. Dari kesepuluh orang tersebut, kemudian berturut-turut dipilih, sampai pada tersisa tiga nama, yaitu ibu, istri dan anaknya. Manakah di antara ketiga itu yang akan ia pilih pada akhirnya untuk menjadi teman hidup selamanya? Memang pilihan itu dilematis ketika ia harus memilih satu saja di antara tiga pilihan yang ada. Meski diliputi berbagai perasaan dalam hatinya dan pikiran rasionalnya, akhirnya pria itu mencoret nama ibu dan anak kandungnya. Ketika ditanya apa pertimbangan keukeuh memilih istrinya menjadi teman hidup untuk selama bersamanya? Pria itu menjelaskan bahwa ibu dan anak bukanlah dia yang memilih, tapi Tuhan yang menganugerahkan. Sedangkan seorang isteri, itu yang dia peroleh karena pilihan diri sendiri.
Dari kisah di atas, kita dapat mengerti bahwa kesetiaan sebagai pasangan suami istri tentu menjadi dasar kebahagiaan dan tujuan hidup berkeluarga. Dan itu selaras dengan bacaan-bacaan Kitab Suci yang kita dengarkan dalam Minggu Biasa Pekan XXVII ini. Seperti dalam bacaan pertama, Allah menetapkan bahwa pria itu akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging (bdk. Kej. 2:24). Inilah konsep dasar hidup berkeluarga kristiani, yang harus kita pertahankan jika kita membangun keluarga, apalagi yang telah dipersatukan dalam ikatan sakramen perkawinan gerejawi.
Pilihan untuk membangun keluarga kristiani adalah pilihan dan keputusan bebas kita. Ketika kita memutuskan untuk hidup berkeluarga, maka dengan sendirinya kita harus mampu berubah menjadi “manusia baru” bersama pasangan kita sendiri. Dengan hidup berkeluarga, maka itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu (bdk. Mrk. 10:7-8). Itulah yang dikatakan Yesus, dalam Injil hari ini. Dengan hidup menjadi “manusia baru” dalam berkeluarga, pria dan wanita yang sudah diikat dalam sakramen perkawinan, maka satu sama lain haruslah saling menyempurnakan dan menguduskan. Tidak ada keluarga yang sempurna. Kesempurnaan hidup berkeluarga itu dapat kita peroleh dengan proses yang panjang, kadang mengalami hal-hal yang sulit dan menyakitkan. Namun demikian, sebagai keluarga kristiani, kita harus belajar terus menerus untuk mampu menyelesaikan setiap persoalan dalam keluarga kita. Kita harus waspada, bahwa keretakan relasi pasangan suami istri, itu sering dilandasi oleh sikap ketegaran hati masing-masing seperti emosional, kemarahan atau egois. Jika terjadi percikan-percikan dalam relasi maka segera diselesaikan bersama atau dengan bantuan orang lain yang dipercaya mampu membantu.
Apa yang menjadi pesan dari Sabda Tuhan hari ini adalah bahwa hidup berkeluarga secara Katolik itu harus sesuai dengan janji pernikahan yang telah diucapkan saat saling menerimakan Sakramen Perkawinan, yakni kesetiaan dalam untung dan malang di sepanjang hidup, sampai maut memisahkannya. Melalui sabda Tuhan hari ini, kita diingatkan kembali akan keutamaan hidup berkeluarga dengan iman kristiani, yakni bahwa perceraian itu tidak pernah menjadi kehendak Allah. Sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan pertama maupun penegasan Yesus dalam Injil pada hari ini, bahwa sejak awal dunia diciptakan, Allah menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan atau utuh sampai akhir hidup.
Kemajuan jaman teknologi, informasi dan komunikasi memang sedikit banyak juga membawa pengaruh terhadap relasi pasangan suami istri dan tentu saja bisa memberi dampak negatip dalam kehidupan berkeluarga. Tentu kita prihatin saat mendengar ada kasus-kasus keretakan relasi, pisah ranjang atau kehendak bercerai dari pasutri Katolik dari anggota keluarga atau warga lingkungan kita. Sabda Tuhan hari ini juga mengingatkan kita bahwa dalam berkeluarga secara Katolik, kita harus mampu untuk menjaga kesetiaan iman dan hidup mengikuti kehendak Tuhan dengan segala konsekuensinya. Karena saat penerimaan sakramen perkawinan, Tuhan sendiri hadir dan memberkati, maka pasangan suami istri perlu membiasakan untuk menghadirkan Tuhan lewat doa bersama dalam keluarga, suami atau istri saling mendoakan satu sama lain. Dan demi membangun keutuhan dan kebahagiaan keluarga, sekali-sekali makan bersama atau piknik bersama keluarga. Jadi, meski kita mengalami badai cobaan atau masalah dalam berkeluarga, sebagai orang yang beriman, kita harus terus mengandalkan bimbingan Tuhan, bukan sikap tegar hati! Semoga Tuhan memberkati kita dan Selamat Berhari Minggu.
Antonius Purbiatmadi
Minggu Biasa XXVII
Bacaan: Kej. 2:18-24, Ibr. 2:9-11, Mrk. 10:2-16
Mungkin Anda pernah mendengar atau membaca kisah seorang profesor yang melakukan riset kecil kepada para mahasiswanya. Profesor tersebut ingin tahu tanggapan akan pilihan dengan siapa jika ingin hidup terus bersamanya. Kepada seorang mahasiswanya, yang kebetulan sudah berkeluarga, profesor itu meminta pria itu harus menentukan 10 orang paling dekat dengannya. Dari kesepuluh orang tersebut, kemudian berturut-turut dipilih, sampai pada tersisa tiga nama, yaitu ibu, istri dan anaknya. Manakah di antara ketiga itu yang akan ia pilih pada akhirnya untuk menjadi teman hidup selamanya? Memang pilihan itu dilematis ketika ia harus memilih satu saja di antara tiga pilihan yang ada. Meski diliputi berbagai perasaan dalam hatinya dan pikiran rasionalnya, akhirnya pria itu mencoret nama ibu dan anak kandungnya. Ketika ditanya apa pertimbangan keukeuh memilih istrinya menjadi teman hidup untuk selama bersamanya? Pria itu menjelaskan bahwa ibu dan anak bukanlah dia yang memilih, tapi Tuhan yang menganugerahkan. Sedangkan seorang isteri, itu yang dia peroleh karena pilihan diri sendiri.
Dari kisah di atas, kita dapat mengerti bahwa kesetiaan sebagai pasangan suami istri tentu menjadi dasar kebahagiaan dan tujuan hidup berkeluarga. Dan itu selaras dengan bacaan-bacaan Kitab Suci yang kita dengarkan dalam Minggu Biasa Pekan XXVII ini. Seperti dalam bacaan pertama, Allah menetapkan bahwa pria itu akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging (bdk. Kej. 2:24). Inilah konsep dasar hidup berkeluarga kristiani, yang harus kita pertahankan jika kita membangun keluarga, apalagi yang telah dipersatukan dalam ikatan sakramen perkawinan gerejawi.
Pilihan untuk membangun keluarga kristiani adalah pilihan dan keputusan bebas kita. Ketika kita memutuskan untuk hidup berkeluarga, maka dengan sendirinya kita harus mampu berubah menjadi “manusia baru” bersama pasangan kita sendiri. Dengan hidup berkeluarga, maka itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu (bdk. Mrk. 10:7-8). Itulah yang dikatakan Yesus, dalam Injil hari ini. Dengan hidup menjadi “manusia baru” dalam berkeluarga, pria dan wanita yang sudah diikat dalam sakramen perkawinan, maka satu sama lain haruslah saling menyempurnakan dan menguduskan. Tidak ada keluarga yang sempurna. Kesempurnaan hidup berkeluarga itu dapat kita peroleh dengan proses yang panjang, kadang mengalami hal-hal yang sulit dan menyakitkan. Namun demikian, sebagai keluarga kristiani, kita harus belajar terus menerus untuk mampu menyelesaikan setiap persoalan dalam keluarga kita. Kita harus waspada, bahwa keretakan relasi pasangan suami istri, itu sering dilandasi oleh sikap ketegaran hati masing-masing seperti emosional, kemarahan atau egois. Jika terjadi percikan-percikan dalam relasi maka segera diselesaikan bersama atau dengan bantuan orang lain yang dipercaya mampu membantu.
Apa yang menjadi pesan dari Sabda Tuhan hari ini adalah bahwa hidup berkeluarga secara Katolik itu harus sesuai dengan janji pernikahan yang telah diucapkan saat saling menerimakan Sakramen Perkawinan, yakni kesetiaan dalam untung dan malang di sepanjang hidup, sampai maut memisahkannya. Melalui sabda Tuhan hari ini, kita diingatkan kembali akan keutamaan hidup berkeluarga dengan iman kristiani, yakni bahwa perceraian itu tidak pernah menjadi kehendak Allah. Sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan pertama maupun penegasan Yesus dalam Injil pada hari ini, bahwa sejak awal dunia diciptakan, Allah menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan atau utuh sampai akhir hidup.
Kemajuan jaman teknologi, informasi dan komunikasi memang sedikit banyak juga membawa pengaruh terhadap relasi pasangan suami istri dan tentu saja bisa memberi dampak negatip dalam kehidupan berkeluarga. Tentu kita prihatin saat mendengar ada kasus-kasus keretakan relasi, pisah ranjang atau kehendak bercerai dari pasutri Katolik dari anggota keluarga atau warga lingkungan kita. Sabda Tuhan hari ini juga mengingatkan kita bahwa dalam berkeluarga secara Katolik, kita harus mampu untuk menjaga kesetiaan iman dan hidup mengikuti kehendak Tuhan dengan segala konsekuensinya. Karena saat penerimaan sakramen perkawinan, Tuhan sendiri hadir dan memberkati, maka pasangan suami istri perlu membiasakan untuk menghadirkan Tuhan lewat doa bersama dalam keluarga, suami atau istri saling mendoakan satu sama lain. Dan demi membangun keutuhan dan kebahagiaan keluarga, sekali-sekali makan bersama atau piknik bersama keluarga. Jadi, meski kita mengalami badai cobaan atau masalah dalam berkeluarga, sebagai orang yang beriman, kita harus terus mengandalkan bimbingan Tuhan, bukan sikap tegar hati! Semoga Tuhan memberkati kita dan Selamat Berhari Minggu.
Antonius Purbiatmadi