"MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?"

author photo April 15, 2021
Ketika rasa sakit semakin berat dan  kematian semakin mendekat, dalam sakrat maut yang penuh derita Yesus berseru, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46). Hal ini menimbulkan pertanyaan: kalau Yesus, sebagai Putra kekal Allah, selalu menjalin kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus, mengapa, ketika bergantung di salib, Ia minta bantuan dan penghiburan dari Allah?

Untuk memulainya, baiklah kita katakan bahwa benarlah bahwa Yesus adalah Putra kekal Allah, Pribadi kedua dari Tritunggal Yang Mahakudus, yang menjalma dalam rahim Maria, dan karena itu Ia adalah pribadi ilahi. Maka, Ia selalu bersatu dengan Bapa dan Roh Kudus, juga di kala Ia sendirian dan tampak ditinggalkan di salib di Kalvari.

Kata-katanya yang diucapkan Yesus tersebut di atas adalah kutipan langsung dan harafiah dari ayat pertama Mazmur 22. Mazmur yang panjang ini mengungkapkan doa orang benar, atau seluruh umat Israel, yang merasa ditinggalkan dan sendirian di tengah penderitaan tetapi, dengan penuh kepercayaan, berdoa kepada Allah untuk memohon pembebasan.

Dengan mengucapkan kata-kata itu, Yesus mau mengingatkan para pendengar-Nya akan seluruh Mazmur, yang dengan begitu jelas diterapkan pada penderitaan-Nya. Di antara kalimat-kalimat lain dalam mazmur itu terbaca: "Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak. Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya... Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton aku, mereka memandangi aku. Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan membuang undi atas jubahku." (Mzm 22:7-8,18-19)

Di sini Yesus berbicara dengan jelas dari sudut pandang kodrat insani-Nya, yang sangat menderita. Dalam kemanusiaan-Nya baik dalam raga maupun dalam jiwa, Ia mengalami penderitaan yang tak terperikan, tanpa diringankan sedikitpun oleh keilahian-Nya. Dengan demikian, Ia merasakan kepedihan, tidak hanya karena penderitaan fisik tetapi juga karena penderitaan mental, yakni situasi ditinggalkan dan tanpa pertolongan yang dirasakan oleh setiap orang lain dalam situasi seperti itu. Dengan cara ini Yesus masuk ke dalam dunia penderitaan insani dan menyatukan diri-Nya dengan semua orang yang dirundung penderitaan dalam bentuk apa pun. Penderitaan yang Ia tanggung dan perasaan ditinggalkan yang Ia rasakan merupakan suatu sumber penghiburan besar bagi setiap orang yang dirundung penderitaan dan merasa ditinggalkan.

Dalam surat apostoliknya mengenai makna Kristiani penderitaan manusia, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa makna kesepian yang mencekam hati Kristus terkait erat dengan pengasingan-Nya dari Bapa akibat dosa manusia, "Dapat dikatakan bahwa kata-kata yang mengungkapkan keterasingan ini muncul dari kadar kesatuan yang tak terpisahkan antara Putra dan Bapa, dan muncul karena Bapa 'menimpakan pada-Nya kejahatan kita semua' (Yes 53:6). Kata-kata itu juga mengilhami kata-kata Santo Paulus, 'Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita' (2Kor 5:21). Beban yang mengerikan ini mencakup 'segala' kejahatan akibat pengasingan diri dari Allah yang terkandung dalam dosa. Bersama dengan beban ini, lewat kesatuan putrawi yang begitu erat dengan Bapa, dan dengan cara yang tak dapat dilukiskan oleh insan, Kristus menerima penderitaan yang berupa perpisahan dari Bapa, penolakan oleh Bapa, dan pengasingan dari Allah. Tetapi justru lewat penderitaan ini Kristus menggenapi penebusan, dan dapat berkata seperti ketika Ia menghembuskan napas-Nya yang terakhir, "Sudahlah selesai" (Yoh 19:30)." (Salvifici doloris, 18).

Pada saat yang sama, hendaknya kita ingat bahwa dengan menyerukan, "Allahku, ya Allahku," Yesus sedang mengungkapkan kesatuan mesra-Nya dengan Bapa dan kepasrahan-Nya kepada-Nya. Kata-kata itu diserukan Yesus seolah-olah Ia sedang mengucapkan kata-kata dari Mazmur 22 itu sebagai kata-kata-Nya sendiri, "Kepada-Mu nenek moyang kami percaya, dan Engkau membebaskan mereka. Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu." (Mzm 22:5-6). Dengan demikian, tidak ada keputusasaan dalam seruan Yesus, sebaliknya, Ia selalu pasrah dan percaya. Kristus ditinggalkan dan merasa sendirian hanya dalam arti bahwa Ia tidak terhindar dari penderitaan penyaliban.

Dalam arti ini, Josef Ratzinger yang waktu itu masih seorang Kardinal memberikan komentar dalam bukunya yang berjudul God and the World (Allah dan Dunia),  "Yesus memulai doa-Nya dengan Mazmur 22. Dengan itu, Ia menyamakan diri-Nya dengan bangsa Israel yang menderita dan merengkuh serta menghayati nasib bangsa-Nya. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa ini adalah suatu doa. Doa itu merupakan pengakuan terhadap Allah dalam suatu seruan minta tolong. Yesus mati sambil berdoa sebagai seorang yang mematuhi hukum pertama, yakni untuk berbakti kepada Allah dan hanya kepada Allah." (hlm. 335)

Kata-kata Yesus itu memang akan selalu menjadi sesuatu yang misterius. Tetapi kata-kata itu menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada sesuatu yangs alah dalam berseru kepada Allah ketika kita merasa ditinggalkan, sejauh kita menyatukan seruan itu dengan pengakuan iman yang mendalam akan Allah yang tidak pernah akan meninggalkan kita.

John Fladder






Next article Next Post
Previous article Previous Post