APAKAH SELIBAT ITU MELAWAN KODRAT DAN ALKITAB?

author photo April 05, 2021
Para imam, biarawan-biarawati dan sebagian diakon Katolik hidup tidak menikah (=hidup selibat). Hal ini sering menimbulkan pertanyaan di hati orang luar, baik dari kalangan saudara-saudara kita umat Kristen maupun non Kristen: "Apakah mereka yang hidup selibat itu tidak menentang kodrat (dan Alkitab)?" Orang biasa mengajukan argumen mereka dari Alkitab. Bukanlah mereka itu ditetapkan untuk berkembang biak, seperti difirmankan oleh Allah sendiri kepada manusia,"Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi"? Jadi, orang dengan sengaja tidak menikah, dia melawan kehendak Allah.
 
Kita dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut dalam dua tahap. Tahap pertama kita ambil langsung dari Alkitab sendiri, sedang yang kedua merupakan refleksi teologis lebih lanjut atas data-data Alkitab.
 



 

Tahap pertama

Memang Allah memerintahkan (atau lebih tepat: memberkati) supaya pria dan wanita bersatu dan beranak cucu. Itulah kehendak-Nya sendiri. Akan tetapi, berkat/perintah Allah dalam Kej 1:28 ini tidak dapat kita tafsirkan sebagai suatu perintah yang mutlak. Kita harus menafsirkannya dalam cahaya keseluruhan Alkitab. Kita ingat saja akan Yesus Kristus sendiri. Ia yang taat kepada Allah Bapa-Nya itu tidak menikah. Ia hidup selibat! Apakah dengan demikian, Yesus itu bukan manusia yang sempurna seperti kita? Apakah Dia melanggar kodrat manusia? Jika jawabannya "ya", berarti Yesus bukan manusia sepenuhnya seperti kita. Dan kesimpulan semacam itu tidak sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru yang dengan susah payah mau menunjukkan kepada kita bahwa Yesus itu sungguh-sungguh manusia seperti kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa (bdk. Yoh 1:14; Ibr 2:16, dll.). Selain Yesus, mungkin rasul Paulus juga tidak menikah (bdk. 1Kor 9:5). Yesus pernah bersabda,"Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga" (Mat 19:12). Hal itu memang tidak mudah dipahami secara manusiawi, maka dari itu Yesus berkata juga,"Siapa yang dapat mengerti, hendaklah ia mengerti" (Mat 19:12). Allah telah memerintahkan supaya manusia beranak cucu. Tetapi Allah yang sama pula berkuasa menetapkan bahwa ada orang yang tidak kawin demi Kerajaan-Nya.

Tahap kedua

Memang harus diakui bahwa Allah menciptakan manusia dalam dua jenis kelamin, pria dan wanita, dengan maksud supaya mereka bersatu, saling melengkapi dan mencintai. namun, tidak kawin dan tidak beranak cucu tidak melawan kodrat. Apakah seseorang yang kebetulan lahir tanpa kemampuan untuk beranak cucu (karena ia - misalnya - mandul) boleh dianggap sebagai manusia yang tidak utuh? Tidak bukan? Sesungguhnya kodrat manusia yang terdalam itu terletak dalam hakikatnya sebagai "gambar dan rupa Allah" (Kej 1:27)? Jadi, bisa kita berkesimpulan: karena Allah tidak mempunyai jenis kelamin, maka kodrat manusia pun tidak terletak dalam jenis kelaminnya dan dalam kemampuannya untuk beranak cucu. Sebaliknya, karena hakikat Allah itu adalah cinta (1Yoh. 4:8), maka cintalah yang menjadi kodrat manusia. Jika seorang manusia tidak mampu mencintai, dia melawan kodratnya. Dan para imam, diakon, dan biarawan-biarawati ingin mengembangkan kodrat terdalam itu dengan tidak menikah agar mereka bisa mencintai Allah dan sesama dengan lebih bebas.

Dr. H. Pidyarto, O. Carm

 
Next article Next Post
Previous article Previous Post