Minggu Biasa XXIV
Bacaan: Sir. 27:30-28:9, Rm. 14:7-9, Mat. 18:21-35
Mengampuni itu Menyembuhkan
Mungkin tidak sedikit dari kita yang mengalami sakit penyakit yang lama untuk sembuh. Sudah diupayakan dengan cara medis atau terapi lain pun ternyata masih belum juga berangsur membaik. Jika sudah demikian tentu sakit penyakit itu akan menyebabkan terkurasnya tenaga dan harta untuk biaya penyembuhan serta mungkin membuat hidup jasmani, mental dan rohani kita tidak nyaman.
Ada yang beranggapan bahwa sakit penyakit yang tak sembuh-sembuh itu terjadi karena kita memiliki hal-hal yang tersembunyi atau terpelihara terus, baik sengaja atau tidak sengaja, di dalam pikiran dan hati kita. Hal yang tersembunyi atau yang terus terpelihara itu misalnya saja kemarahan, dendam, iri hati, dll., yang oleh banyak orang diyakini sebagai hal yang menghambat penyembuhan. Untuk sembuh dan hidup sehat, hal-hal negatif yang ada dalam pikiran dan perasaan kita itu harus kita buang jauh-jauh dari hidup kita. Dalam konteks hidup beriman, hal-hal yang berkaitan dengan keberdosaan haruslah kita mohonkan pengampunan dari Tuhan dan sesama kita. Bukankah dalam setiap doa tobat, kita selalu daraskan doa “Saya mengaku kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian? Dan bukankah Gereja telah menyediakan sarana penghapusan dosa melalui sakramen rekonsiliasi?
Pernyataan semacam itu bukan saja tinjauan secara medis atau pendapat dari para ahli jiwa (psikologi), melainkan juga ajaran Gereja kita yang bersumber dari sabda Tuhan dalam Kitab Suci. Seperti dalam bacaan pertama, Kitab Putra Sirakh mengungkapkan bagaimana gerangan kita dapat mengalami penyembuhan dari Tuhan, jika kita menyimpan amarah kepada sesamanya? Agar kita peroleh kesembuhan, syaratnya adalah mengampuni kesalahan sesama, niscaya kita pun disembuhkan dan dihapuskanlah dosa-dosa kita (bdk Sir.28:2-3). Pengampunan (forgiveness) itu merupakan jalan kesembuhan. Sebagai orang beriman kita memahami bahwa menyimpan atau memelihara dendam, amarah atau rasa kebencian terhadap sesama itu adalah sikap perbuatan yang tidak selaras dengan sifat Tuhan yang Mahapengampun. Sikap negatif itu merupakan hal yang akan menutup jalan kesempatan kita untuk memperoleh kesembuhan dan pengampunan dari Tuhan. Kalau kita sering menyebut bahwa Tuhan itu Yang Mahapengampun, memang watak Tuhan sungguh memiliki hati untuk mengampuni kesalahan kita sebesar apa pun dosa kita. Sebaliknya adakah kita mampu dan mau mengampuni orang yang bersalah kepada kita?
Jika seseorang yang berulangkali menyakiti hati kita dan juga sudah sering kita maafkan, namun masih menyakiti kita, maka biasanya kita tak akan mau lagi memaafkannya, bukan? Tiada maaf bagimu, begitu sering kita katakan. Lalu, bagaimana kita sebagai murid Tuhan? Bukankah Tuhan mengajarkan banyak hal tentang memaafkan atau mengampuni, seperti misalnya dalam doa Bapa Kami?. Juga dalam bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Pekan XXIV ini Yesus mengajarkan tentang mengampuni orang lain. Dalam perikop Injil ini memang tidak dijelaskan mengapa atau apa motivasi Petrus bertanya tentang berapa kali harus mengampuni. Apakah pertanyaan Petrus itu barangkali didasari pengalamannya sendiri ketika ada tetangganya, sesama nelayan atau mungkin rasul lainnya yang sering menyakiti hatinya dan yang terus menerus memohon maaf kepadanya. Mungkin dari pengalaman ia disakiti dan sudah sering memberi maaf itu, lalu Petrus berpikir apakah sebagai murid Tuhan itu harus ada batasan tertentu dalam mengampuni sesamanya.
Terhadap pertanyaan Petrus itu, Yesus menjawab dengan tegas bahwa mengampuni itu bukan soal seberapa sering kita mengampuni (ay. 22). Melalui ungkapan ‘ … melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali’ dari ayat 22 itu, Yesus hendak mengajarkan kepada kita hal pengampunan yang sifatnya tak ada batasan jumlah atau intensitasnya. Tindakan mengampuni itu tindakan yang tak berbekas apa pun dalam pikiran dan hati kita. Hal mengampuni itu harus tindakan yang tulus, siap untuk selalu melupakan perbuatan salah dari orang menyakitkan hati kita. Yesus mengajarkan bahwa sikap pengampun haruslah jadi sikap hidup sebagai pengikut Tuhan, apa pun pangkat, jabatan atau umur kita. Apakah mudah memaafkan atau mengampuni itu?
Melalui perumpamaan raja yang murah hati dalam mengampuni hambanya yang berhutang banyak kepadanya, kita diajak Tuhan untuk bersikap seperti raja itu. Sebagai murid Tuhan, apa pun jabatan dan keadaan diri kita, Yesus berharap kita memiliki sikap hati seperti seorang raja yang murah hati dan berbelas kasih. Melalui ajaranNya hari ini, Yesus menekankan bahwa sikap keikhlasan untuk selalu mau mengampuni sesama kita, sekiranya menjadi tolok ukur dan karakter khas sebagai muridNya. Kalau kita tidak mau mengampuni orang lain, maka kita pun tak akan mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Dengan demikian, hidup kita pun akan tetap mengalami sakit. Hati yang sakit itu bagaikan bangunan yang bisa runtuh karena dimakan ngengat atau pergantian cuaca yang ekstrem, karena ketahanan diri semakin melemah.
Jadi memang benar bahwa salah satu kesulitan kita untuk memberi pengampunan kepada orang lain adalah karena kita terlalu memelihara rasa sakit yang amat dalam. Ketika kita sakit, kita terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri dan mengharap belas kasihan orang lain terhadap penderitaan kita. Rasul Paulus, dalam bacaan kedua, menyebutkan bahwa sebagai murid Tuhan hidup kita harus selalu dipusatkan kepada Tuhan dan memiliki iman bahwa setiap orang percaya adalah milik Tuhan Yesus (Rom 14:8). Dengan penegasan Rasul Paulus itu kita diajak untuk memusatkan diri pada sifat Allah, yang memiliki kerahiman dan selalu mengampuni kita. Maka sebagai orang beriman, kita pun diajak untuk mau mengampuni sesama kita terus menerus. Dengan mengampuni, maka hidup kita pun akan lebih sehat dan mampu untuk melayani Tuhan dan sesama. Mengampuni itu memiliki daya menyembuhkan.
Semoga Tuhan memberkati kita dan Selamat Berhari Minggu.
Antonius Purbiatmadi