AGAMA ATAU KEROHANIAN SEJATI

author photo October 13, 2018
Markus 10:17-30 - Minggu Biasa XXVIII

Bacaan Injil Minggu ini memuat pernyataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Murid-murid bereaksi, bila begitu, siapa yang bakal selamat?Menanggapi persoalan ini, Yesus mengemukakan memang tak mungkin bagi manusia, namun bukan demikian bagi Allah; bagi-Nya semuanya bisa terjadi.

Ada orang yang datang dan bertanya kepada Yesus, apa yang mesti diperbuat supaya mendapatkan hidup kekal. Yesus merujuk kepada perintah-perintah agama. Tetapi setelah orang itu berkata bahwa semua sudah dijalankannya, Yesus mengajaknya melangkah lebih jauh. Disarankannya kepada orang itu untuk mengamalkan kekayaannya bagi kaum papa lalu mengikutinya.

Keinginan orang itu untuk memperoleh hidup kekal dihadapkan Yesus dengan cita-cita untuk mencapai kesempurnaan. Hidup kekal belum bisa disebut kesempurnaan. Dalam bacaan ini juga menjadi jelas bahwa kesempurnaan mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan itu karya Allah bagi manusia. Dalam ayat 27 Yesus menjelaskan duduk perkaranya: kesempurnaan itu bukan urusan manusia, melainkan karya Allah di dalam diri manusia.

Dalam hubungan ini baik dipikirkan perbedaan antara "sikap beragama" dan "kerohanian". Meskipun berpautan, kedua-duanya tidak sama. Sikap beragama yang tulus dapat membawa ke hidup kekal dan membukakan dimensi keramat dalam kehidupan, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan nikmat dan hikmatnya Yang Keramat. Dia sendirilah yang bakal membawa orang kepadanya. Tak sedikit orang yang kini merasa jenuh dengan "sikap beragama" dan menginginkan masuk ke dalam "kerohanian". Injil Minggu ini mengutarakan perbedaan di antara keduanya. Paradigma "sikap beragama" bisa panjang, misalnya: menggereja, berkomunitas, membudayakan agama, agamaist. Lalu apa paradigma "kerohanian"? Kita tahu ada, tapi apa ujudnya, Dia sendirilah yang lebih mengetahuinya! Kerohanian sejati luput dari perencanaan justru karena tidak bisa diagendakan. Dan sia-sialah upaya untuk itu.

Perkataan Yesus ("Siapa bakal selamat?") sebenarnya tidak langsung diarahkan kepada para murid. Mereka sibuk dengan pemikiran mereka sendiri mengenai keselamatan yang kini justru digoyah Yesus. Mungkin mereka berpendapat bahwa keselamatan itu ialah mengalami "syalom" atau "kedamaian" seperti sering dikuliahkan dalam traktat teologi keselamatan. Teologi keselamatan seperti ini sebenarnya lebih termasuk paradigma "sikap beragama", dan tidak berada di kawasan "kerohanian". Akibatnya, cepat atau lambat orang merasa macet, jemu, tak mendapat inspirasi. Penawarnya ialah teologi keselamatan yang lebih memberi ruang gerak pada Allah yang bertindak menolong orang-orang yang butuh pertolongan-Nya. Itulah citra Allah dalam Perjanjian Lama. Itu juga citra Anak Manusia dalam Perjanjian Baru yang dinanti-nantikan orang banyak: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, memberi makan orang banyak, menghidupkan orang.

Mungkin ada yang berkata, bahwa karya-Nya ini toh bisa kita namai dengan abstraksi "karya keselamatan", begitu kan? Nah, di sinilah cobaan terbesar: menamai pengalaman rohani "ditolong Tuhan" dengan abstraksi yang universal mengenai keadaan damai/syalom. Teologi keselamatan seperti ini memang jelas penalarannya, tetapi kurang menggarap kerohanian. Orang lapangan musti waspada dan tidak meninabobokkan umat dengan gagasan seperti ini.

Dalam Mazmur 15 ada pertanyaan siapa yang bakal diam di kemahMu ya Tuhan, siapa yang bakal tinggal di Gunung SuciMu? Bagi sang petapa dalam Mazmur itu, tinggal bersama Tuhan di kediaman-Nya ialah pengalaman rohani menikmati hikmatnya berada di dekat Allah. Pengalaman rohani ini tidak mudah diabstraksikan menjadi paham damai atau paham keselamatan begitu saja. Ayat-ayat selanjutnya menyebutkan macam-macam perilaku yang menjadi petunjuk jalan masuk ke kediaman Tuhan. Semuanya termasuk "sikap beragama" yang terarah menuju ke kesempurnaan rohani, yakni tinggal bersama Tuhan di kediaman-Nya. Demikianlah ditunjukkan kaitan antara sikap beragama dengan kerohanian sejati yang menjadi kesempurnaan hidup.
Next article Next Post
Previous article Previous Post