Oleh: V. G. Asthaningroem
(Artikel ini telah dimuat dalam Buletin Paroki MBSB Edisi Mei 2017)
Panggilan Orang Tua
Salah satu janji yang diucapkan calon pasangan suami isteri yang menikah di Gereja Katolik adalah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak secara Katolik. Janji tersebut diucapkan di hadapan Imam dan dua saksi yang bertindak sebagai “orang” yang menyaksikan dan mendengarkan kesaksian yang diucapkan calon pasangan suami isteri tersebut. Maka pelaksana atas janji tersebut adalah calon pasangan suami isteri tersebut. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa ketika keduanya sudah hidup bersama sebagai keluarga Katolik lalu lahir anak-anak, orangtua terikat kewajiban untuk mendidik anak-anak mereka. Secara sosial ada 3 (tiga) lembaga pendidikan: lembaga formal yakni sekolah, informal yakni keluarga dan nonformal yakni masyarakat. Ketiganya memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan, sehingga proses pendidikan yang ditempuh memiliki proses sendiri-sendiri. Namun, mesti disadari bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan informal dalam keluarga.
Peranan orangtua dalam kehidupan keluarga khususnya bagi anak-anak tidak hanya sebatas melahirkan, memberikan makan, membelikan pakaian, menyediakan tempat tinggal/rumah bagi mereka, tetapi menjadikan keluarga sebagai sekolah yang tepat untuk hidup dan kehidupan. Ada beberapa hal esensial yang hanya dapat dipelajari dalam keluarga, yakni belajar memahami dan menerima orang lain apa adanya, berusaha mewujudkan rasa aman, penerimaan atas setiap pribadi, hormat terhadap otoritas keluarga, memiliki kemampuan membedakan yang benar dan yang salah, bertanggungjawab, kontrol diri dan belajar mencintai dan dicintai. Anak mengenal kasih Allah karena di dalam kehidupan keluarga sehari-hari ia merasakan kasih dari ayah dan ibunya. Sebaliknya jika di dalam kehidupan keseharian anak terus menerus dimarahi, diomeli bahkan dipukul oleh ayah ibunya, maka Allah yang ia kenal adalah Allah yang jahat.
Dalam kaitan inilah orangtua sungguh mempunyai peranan sangat penting yang tidak dapat diwakilkan kepada pihak mana pun. Kehadiran dan peranan guru di sekolah atau katekis dalam lembaga Gereja, harus dilihat sebagai bantuan bagi orangtua dalam menjalankan peranannya sebagai pendidik pertama dan utama; karena itu peranan sekolah atau Gereja tidak boleh dimutlakkan seolah-olah menggantikan peran orangtua. Orangtua semestinya menyadari bahwa merekalah pendidik utama bagi anak-anak sehingga mereka tidak hanya memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri. Dari kesadaran sebagai pendidik utama itulah, kemudian orangtua melakukan segala daya upaya agar proses pendidikan dan pertumbuhan anak dalam keluarga menjadi maksimal. Hal ini dilakukan misalnya menyediakan waktu khusus bagi anak-anak untuk bermain dan berkomunikasi, membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas, baik secara manusiawi dan rohani. Sebagai orangtua mereka juga seharusnya ikut terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah. Mengetahui apa yang sedang dipelajari di sekolah, mengetahui buku-buku yang sedang dipelajari bahkan mengenal teman-teman di kelas maupun di sekolah.
Diharapkan dengan mengenal dan mengetahui seluruh proses pendidikan tersebut, orangtua dapat membaca sikap, perubahan dan perkembangan dalam diri anak.
Keluarga Sebagai Sekolah Iman
Bagi umat Kristiani, keluarga sebagai sekolah iman karena merupakan tempat pertama dan utama bagi anak belajar tentang iman dan menjadi dasar bagi hidup iman mereka. Sebagai orangtua merekalah yang menyiapkan dan memberikan bekal kehidupan bagi anak-anak dalam keluarga. Bekal kehidupan itulah yang menentukan hidup dan kehidupan anak di masa depan. Bukan bekal dalam arti materi, tetapi lebih pada hal-hal rohani, yaitu iman yang hidup, kasih yang sejati, sikap hati, kepekaan terhadap sesama, cara berpikir dan berbicara, kekuatan mental, daya juang untuk hidup dan daya tahan terhadap godaan serta bertindak bijaksana. Ketika orangtua menyadari akan pentingnya pembinaan iman anak sejak dini, maka setiap orangtua akan berusaha membangun iman dalam diri anak sejak dini. Dalam mendidik anak mengenai kehidupan iman orangtua harus bersikap set by example, orangtua harus terlebih dahulu mempraktekkan imannya, berusaha hidup kudus dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Hal-hal yang bisa kita lakukan secara sederhana namun diharapkan mampu membangun dan memperkokoh dasar iman kristiani dalam diri anak, misalnya setiap malam melakukan doa bersama, melakukan ibadat bersama seperti yang ada dalam lembar warta Paroki, membaca Kitab Suci, membawa anak-anak mengikuti Misa Kudus, mengikutsertakan anak dalam berbagai aktifitas gerejawi, di lingkungan/ wilayah setempat maupun di lingkup paroki. Ini adalah tugas yang berat lagi penting. Begitu pentingnya maka apabila diabaikan atau terlewatkan amat sangat sulit untuk dilengkapi ataupun diulangi, karena hidup terus berjalan maju. Untuk itu, orangtua mesti berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan hal-hal positif, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka.
Apabila dalam proses pertama dan utama ini, orangtua mampu membangun dasar iman yang kuat dalam diri anak, maka ketika berada di luar keluarga anak mampu mempertahankan dan memperdalam iman yang dimilikinya akan Allah. Ia tidak akan ragu dan mudah goyah ketika berhadapan dengan situasi yang menantang imannya. Misalnya, ketika kelak sudah dewasa dan bekerja, lalu mendapatkan tawaran jika meninggalkan imannya maka ia akan mendapat jabatan yang lebih. Tentu jabatan tersebut menjanjikan sebuah kenikmatan. Tetapi karena imannya yang teguh ia memilih hidup dalam kesederhanaan yang membahagiakan. Atau karena keterlibatannya dalam kehidupan menggereja sehingga tumbuh benih panggilan menjadi Imam, Bruder atau Suster maka dukung dan doronglah mereka mewujudkan cita-cita tersebut. Hendaknya kita selalu berdoa “Ya Tuhan, Engkau telah menitipkan anak-anak ini kepada kami, jadikan dan bentuklah mereka menjadi yang Engkau kehendaki”. Kahlil Gibran dalam puisinya “Anakmu Bukan Milikmu” memiliki kata-kata menyentuh batin, merangsang jiwa dan hati untuk berpikir logis menghadapi masa depan anak-anak bahwa jangan pernah mengabaikan Tuhan dalam proses pendidikan anak dan kesadaran bahwa mereka adalah milik Tuhan.
Panggilan hidup keluarga kristiani adalah sakral dan kudus, karena dalam keluarga berlangsunglah penerusan keturunan, pewarisan dan penerusan ajaran iman orang tua ke anak dan cucu. Santo Yakobus dalam suratnya bab 2 menuliskan “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati”. Wujud nyata penghayatan iman akan nampak pada relasi, baik internal dalam keluarga maupun keluarga dalam masyarakat. Iman seseorang dapat berkembang penuh hanya melalui kebersamaan dengan orang lain. Kita tidak perlu menuliskan kertas di dada kita “orang Katolik”, tetapi dengan menunjukkan sikap-sikap kasih, jujur, sabar, lemah lembut, ramah, orang lain akan tahu kita orang Katolik. Meski pun kita mengakui ada banyak orang non Katolik pun juga akan melakukan hal yang sama.
Dalam proses pendidikan iman anak diperlukan komitmen yang kuat dari setiap orang tua. Hal ini disadari karena tidak mudah melakukannya karena ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat, di satu sisi memberikan manfaat, tetapi di sisi lain merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Banyak film-film yang ditujukan untuk anak-anak tetapi bernuansa kekerasan, perselingkuhan, kemewahan, budaya instant, dsbnya.
Perkembangan jaman turut merubah pola kehidupan dalam masyarakat yakni sifat individualisme: segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya dan masa bodo dengan orang lain sehingga cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sifat materialisme: segala sesuatu dinilai dari banyak tidaknya kepemilikan materi. Sifat sektarianisme: yang dipentingkan adalah kelompok suku bangsa atau agamanya saja dan merendahkan kelompok suku bangsa atau agama lainnya. Apabila sifat-sifat tersebut terus berlangsung tanpa ada kesadaran untuk memperbaiki diri, maka kehidupan keluarga, Gereja dan masyarakat akan mengalami kemunduran bahkan kerusakan.
Dengan adanya banyak tantangan tersebut, komitmen orangtua/keluarga dalam pendidikan iman anak menjadi sangat penting. Bila tidak disadari dan dilakukan dengan benar, maka anak dapat dengan mudah terpengaruh dan mengikuti budaya-budaya negatif yang kini tumbuh subur di masyarakat. Komitmen itu dapat ditunjukkan oleh orangtua dengan berperan aktif dalam proses pendidikan iman anak, misalnya mengikuti berbagai program pengayaan keterampilan sebagai orangtua yang diselenggarakan oleh Gereja atau lembaga lainnya. Diharapkan orangtua lalu mempraktikkannya dalam hidup sehari-hari, atau dengan ikut memberikan sumbangsih pendapat dan pikiran dalam proses pendidikan iman anak di Gereja sehingga pembinaan iman anak di Gereja menjadi lebih dinamis dan edukatif, atau dengan menjadi sahabat bagi anak-anak yang menjadi tempat curhat anak-anak bila mereka dalam masalah. Hal-hal ini bila dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, niscaya anak-anak nantinya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang bukan hanya penuh iman dan bakti kepada Allah, tetapi juga menjadi pribadi yang berintegritas tinggi dan bisa menjadi soko guru dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Gereja sungguh-sungguh memberi perhatian besar mengenai peran keluarga dalam membina iman setiap anggota keluarga, terutama kehidupan iman anak. Gerakan maupun aktifitas dilakukan Gereja bagi keluarga, karena Gereja menyadari bahwa anak yang saat ini berumur 10 tahun kelak 20 tahun lagi adalah pewaris Gereja, maka Gereja menghendaki bahwa para pewaris Gereja masa depan adalah pribadi yang utuh dan kuat imannya sehingga warta kegembiraan yang dibawa Yesus Kristus akan terus berlanjut dan semakin banyak orang mengalami akan kasih Allah. Semoga berkat Tuhan melimpah atas diri Anda bersama keluarga.
(Artikel ini telah dimuat dalam Buletin Paroki MBSB Edisi Mei 2017)
Panggilan Orang Tua
Salah satu janji yang diucapkan calon pasangan suami isteri yang menikah di Gereja Katolik adalah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak secara Katolik. Janji tersebut diucapkan di hadapan Imam dan dua saksi yang bertindak sebagai “orang” yang menyaksikan dan mendengarkan kesaksian yang diucapkan calon pasangan suami isteri tersebut. Maka pelaksana atas janji tersebut adalah calon pasangan suami isteri tersebut. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa ketika keduanya sudah hidup bersama sebagai keluarga Katolik lalu lahir anak-anak, orangtua terikat kewajiban untuk mendidik anak-anak mereka. Secara sosial ada 3 (tiga) lembaga pendidikan: lembaga formal yakni sekolah, informal yakni keluarga dan nonformal yakni masyarakat. Ketiganya memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan, sehingga proses pendidikan yang ditempuh memiliki proses sendiri-sendiri. Namun, mesti disadari bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan informal dalam keluarga.
Peranan orangtua dalam kehidupan keluarga khususnya bagi anak-anak tidak hanya sebatas melahirkan, memberikan makan, membelikan pakaian, menyediakan tempat tinggal/rumah bagi mereka, tetapi menjadikan keluarga sebagai sekolah yang tepat untuk hidup dan kehidupan. Ada beberapa hal esensial yang hanya dapat dipelajari dalam keluarga, yakni belajar memahami dan menerima orang lain apa adanya, berusaha mewujudkan rasa aman, penerimaan atas setiap pribadi, hormat terhadap otoritas keluarga, memiliki kemampuan membedakan yang benar dan yang salah, bertanggungjawab, kontrol diri dan belajar mencintai dan dicintai. Anak mengenal kasih Allah karena di dalam kehidupan keluarga sehari-hari ia merasakan kasih dari ayah dan ibunya. Sebaliknya jika di dalam kehidupan keseharian anak terus menerus dimarahi, diomeli bahkan dipukul oleh ayah ibunya, maka Allah yang ia kenal adalah Allah yang jahat.
Dalam kaitan inilah orangtua sungguh mempunyai peranan sangat penting yang tidak dapat diwakilkan kepada pihak mana pun. Kehadiran dan peranan guru di sekolah atau katekis dalam lembaga Gereja, harus dilihat sebagai bantuan bagi orangtua dalam menjalankan peranannya sebagai pendidik pertama dan utama; karena itu peranan sekolah atau Gereja tidak boleh dimutlakkan seolah-olah menggantikan peran orangtua. Orangtua semestinya menyadari bahwa merekalah pendidik utama bagi anak-anak sehingga mereka tidak hanya memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri. Dari kesadaran sebagai pendidik utama itulah, kemudian orangtua melakukan segala daya upaya agar proses pendidikan dan pertumbuhan anak dalam keluarga menjadi maksimal. Hal ini dilakukan misalnya menyediakan waktu khusus bagi anak-anak untuk bermain dan berkomunikasi, membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas, baik secara manusiawi dan rohani. Sebagai orangtua mereka juga seharusnya ikut terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah. Mengetahui apa yang sedang dipelajari di sekolah, mengetahui buku-buku yang sedang dipelajari bahkan mengenal teman-teman di kelas maupun di sekolah.
Diharapkan dengan mengenal dan mengetahui seluruh proses pendidikan tersebut, orangtua dapat membaca sikap, perubahan dan perkembangan dalam diri anak.
Keluarga Sebagai Sekolah Iman
Bagi umat Kristiani, keluarga sebagai sekolah iman karena merupakan tempat pertama dan utama bagi anak belajar tentang iman dan menjadi dasar bagi hidup iman mereka. Sebagai orangtua merekalah yang menyiapkan dan memberikan bekal kehidupan bagi anak-anak dalam keluarga. Bekal kehidupan itulah yang menentukan hidup dan kehidupan anak di masa depan. Bukan bekal dalam arti materi, tetapi lebih pada hal-hal rohani, yaitu iman yang hidup, kasih yang sejati, sikap hati, kepekaan terhadap sesama, cara berpikir dan berbicara, kekuatan mental, daya juang untuk hidup dan daya tahan terhadap godaan serta bertindak bijaksana. Ketika orangtua menyadari akan pentingnya pembinaan iman anak sejak dini, maka setiap orangtua akan berusaha membangun iman dalam diri anak sejak dini. Dalam mendidik anak mengenai kehidupan iman orangtua harus bersikap set by example, orangtua harus terlebih dahulu mempraktekkan imannya, berusaha hidup kudus dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Hal-hal yang bisa kita lakukan secara sederhana namun diharapkan mampu membangun dan memperkokoh dasar iman kristiani dalam diri anak, misalnya setiap malam melakukan doa bersama, melakukan ibadat bersama seperti yang ada dalam lembar warta Paroki, membaca Kitab Suci, membawa anak-anak mengikuti Misa Kudus, mengikutsertakan anak dalam berbagai aktifitas gerejawi, di lingkungan/ wilayah setempat maupun di lingkup paroki. Ini adalah tugas yang berat lagi penting. Begitu pentingnya maka apabila diabaikan atau terlewatkan amat sangat sulit untuk dilengkapi ataupun diulangi, karena hidup terus berjalan maju. Untuk itu, orangtua mesti berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan hal-hal positif, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka.
Apabila dalam proses pertama dan utama ini, orangtua mampu membangun dasar iman yang kuat dalam diri anak, maka ketika berada di luar keluarga anak mampu mempertahankan dan memperdalam iman yang dimilikinya akan Allah. Ia tidak akan ragu dan mudah goyah ketika berhadapan dengan situasi yang menantang imannya. Misalnya, ketika kelak sudah dewasa dan bekerja, lalu mendapatkan tawaran jika meninggalkan imannya maka ia akan mendapat jabatan yang lebih. Tentu jabatan tersebut menjanjikan sebuah kenikmatan. Tetapi karena imannya yang teguh ia memilih hidup dalam kesederhanaan yang membahagiakan. Atau karena keterlibatannya dalam kehidupan menggereja sehingga tumbuh benih panggilan menjadi Imam, Bruder atau Suster maka dukung dan doronglah mereka mewujudkan cita-cita tersebut. Hendaknya kita selalu berdoa “Ya Tuhan, Engkau telah menitipkan anak-anak ini kepada kami, jadikan dan bentuklah mereka menjadi yang Engkau kehendaki”. Kahlil Gibran dalam puisinya “Anakmu Bukan Milikmu” memiliki kata-kata menyentuh batin, merangsang jiwa dan hati untuk berpikir logis menghadapi masa depan anak-anak bahwa jangan pernah mengabaikan Tuhan dalam proses pendidikan anak dan kesadaran bahwa mereka adalah milik Tuhan.
Panggilan hidup keluarga kristiani adalah sakral dan kudus, karena dalam keluarga berlangsunglah penerusan keturunan, pewarisan dan penerusan ajaran iman orang tua ke anak dan cucu. Santo Yakobus dalam suratnya bab 2 menuliskan “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati”. Wujud nyata penghayatan iman akan nampak pada relasi, baik internal dalam keluarga maupun keluarga dalam masyarakat. Iman seseorang dapat berkembang penuh hanya melalui kebersamaan dengan orang lain. Kita tidak perlu menuliskan kertas di dada kita “orang Katolik”, tetapi dengan menunjukkan sikap-sikap kasih, jujur, sabar, lemah lembut, ramah, orang lain akan tahu kita orang Katolik. Meski pun kita mengakui ada banyak orang non Katolik pun juga akan melakukan hal yang sama.
Dalam proses pendidikan iman anak diperlukan komitmen yang kuat dari setiap orang tua. Hal ini disadari karena tidak mudah melakukannya karena ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat, di satu sisi memberikan manfaat, tetapi di sisi lain merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Banyak film-film yang ditujukan untuk anak-anak tetapi bernuansa kekerasan, perselingkuhan, kemewahan, budaya instant, dsbnya.
Perkembangan jaman turut merubah pola kehidupan dalam masyarakat yakni sifat individualisme: segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya dan masa bodo dengan orang lain sehingga cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sifat materialisme: segala sesuatu dinilai dari banyak tidaknya kepemilikan materi. Sifat sektarianisme: yang dipentingkan adalah kelompok suku bangsa atau agamanya saja dan merendahkan kelompok suku bangsa atau agama lainnya. Apabila sifat-sifat tersebut terus berlangsung tanpa ada kesadaran untuk memperbaiki diri, maka kehidupan keluarga, Gereja dan masyarakat akan mengalami kemunduran bahkan kerusakan.
Dengan adanya banyak tantangan tersebut, komitmen orangtua/keluarga dalam pendidikan iman anak menjadi sangat penting. Bila tidak disadari dan dilakukan dengan benar, maka anak dapat dengan mudah terpengaruh dan mengikuti budaya-budaya negatif yang kini tumbuh subur di masyarakat. Komitmen itu dapat ditunjukkan oleh orangtua dengan berperan aktif dalam proses pendidikan iman anak, misalnya mengikuti berbagai program pengayaan keterampilan sebagai orangtua yang diselenggarakan oleh Gereja atau lembaga lainnya. Diharapkan orangtua lalu mempraktikkannya dalam hidup sehari-hari, atau dengan ikut memberikan sumbangsih pendapat dan pikiran dalam proses pendidikan iman anak di Gereja sehingga pembinaan iman anak di Gereja menjadi lebih dinamis dan edukatif, atau dengan menjadi sahabat bagi anak-anak yang menjadi tempat curhat anak-anak bila mereka dalam masalah. Hal-hal ini bila dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, niscaya anak-anak nantinya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang bukan hanya penuh iman dan bakti kepada Allah, tetapi juga menjadi pribadi yang berintegritas tinggi dan bisa menjadi soko guru dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Gereja sungguh-sungguh memberi perhatian besar mengenai peran keluarga dalam membina iman setiap anggota keluarga, terutama kehidupan iman anak. Gerakan maupun aktifitas dilakukan Gereja bagi keluarga, karena Gereja menyadari bahwa anak yang saat ini berumur 10 tahun kelak 20 tahun lagi adalah pewaris Gereja, maka Gereja menghendaki bahwa para pewaris Gereja masa depan adalah pribadi yang utuh dan kuat imannya sehingga warta kegembiraan yang dibawa Yesus Kristus akan terus berlanjut dan semakin banyak orang mengalami akan kasih Allah. Semoga berkat Tuhan melimpah atas diri Anda bersama keluarga.