Oleh: RD. Yohanes Suradi
(Artikel ini telah dimuat dalam Buletin Paroki MBSB Edisi Agustus 2015)
Pengantar
Berabad-abad lamanya para Bapa Gereja merenungkan peran Bunda Maria dalam sejarah keselamatan. Bahwa Bunda Maria sedemikian rupa ‘kalis ing sambikala’, sejak semula terlindungi dari dosa. Terhadap kesucian jiwa raga Sang Bunda ini, para Bapa Gereja meyakini bahwa Tuhan Yesus, Allah yang mewujud dalam rupa manusia itu, sejak semula memilih Maria sebagai perantara perwujudan tersebut, sehingga dihindarkan dari segala pengaruh kedosaan. Keyakinan ini menyejarah dari abad ke abad sebagai sebagai sebuah iman yang diajarkan kepada umat.
Pada tahun 1854 Paus Pius IX menetapkan kepercayaan ini sebagai ajaran resmi Gereja yang tidak dapat sesat ( dogma ), Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa. Kemudian Paus Pius XII pada tahun 1950 melalui bulla Munificentissimus Dei menyatakan Bunda Maria diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan tubuh dan jiwanya, bahwa sudah sepantasnya Santa Perawan tersuci ini diikutsertakan dalam kemuliaan Puteranya, Yesus Kristus yang naik ke surga dengan badan dan jiwaNya.
Kemudian Konsili Vatikan II, para Bapa Konsili melalui dokumen Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja, artikel 59 menyatakan: “Akhirnya, Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya”, serta menetapkan bahwa tanggal 15 Agustus adalah Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Tulisan ini tidak akan mengulas tentang sejarah konsili menetapkan hari raya tersebut, melainkan ingin mengajak para pembaca melihat realitas umat dalam mengimani Bunda Maria, terlebih menghayati Bunda Maria sebagai pelindung paroki kita.
Keunggulan Bunda Maria
Kekhasan kita sebagai orang Katolik, salah satunya adalah keterlibatan Bunda Maria dalam rencana karya keselamatan Alah. Bunda yang mengagumkan karena imannya yang sangat mendalam. Agaknya juga tidak terlalu berlebihan kalau kita memberikan gelar yang sedemikian kepada perempuan dari Nasareth ini karena kita benar-benar melihat kekaguman itu. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( Luk. 1: 38 ). Kata-kata sederhana yang diucapkan Bunda Maria perihal perkandungannya ini mencerminkan kepercayaannya pada Allah, penyerahan dirinya secara total kepada kehendak Allah. Itulah yang disebut ‘iman’. Iman yang sebegitu dalam ini menjadi keunggulan partama Bunda Maria.
Kedua, kita melihat ‘kerendahan hati’ Bunda Maria yang sungguh mempesona, sulit kita bayangkan bagaimana seorang perawan dari kampung, bukan keturunan orang penting, sederhana, miskin itu mendapatkan anugerah yang sangat mengejutkan: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi . . . . ( Luk. 1: 31-32 ). Sekalipun berita itu menggembirakan, mengangkat derajat, pangkat dan latar belakang kemiskinannya, tetapi Bunda Maria tidak menjadikannya sebagai sarana atau kesempatan untuk menyombongkan diri. Kerendahan hati Bunda Maria juga disaksikan oleh Elizabeth, ketika Maria mengunjunginya : “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku ? Sebab sesungguhnya , ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang didalam rahimku melonjak kegirangan” ( Luk. 1: 43 - 44 ). Pertemuan dua pribadi yang sama-sama sedang mengandung rahasia Ilahi ini bisa menjadi godaan untuk saling unjuk kesombongan. Tanpa penjelasan biblispun perjumpaan tersebut menjadi pemakluman kepada dunia tentang karya keselamatan Allah.
Keunggulan yang ketiga yang lebih luar biasa lagi adalah ‘kesetiaannya pada Allah’. Pertanyaan dalam hati, apakah arti salam itu atau “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Luk. 1: 34) menggambarkan sifat dasariah seorang manusia, yakni sifat ragu, takut, tidak percaya begitu saja, bahkan kadang juga menolak terhadap suatu perintah. Setelah melalui sebuah keheningan / doa , Bunda Maria menyatakan kesanggupannya: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( Luk. 1: 38 ). Ungkapan yang sederhana, lugas tanpa muatan kepentingan-kepentingan pribadi Bunda Maria, menggambarkan kesetiaan yang luar biasa pada panggilan Allah.
Bersama Maria Menjadi Semakin Beriman
Begitu banyak keunggulan Bunda Maria yang dapat kita temukan, namun tiga hal tersebut di atas rasanya baik untuk kita refleksikan guna membuat sebuah wujud nyata kekaguman tersebut, terlebih dalam menghayati panggilan hidup dan keterlibatan dalam karya Gereja dan masyarakat. Karena iman, Bunda Maria meyakini bahwa Allah akan setia pada janjiNya. Bunda Maria yakin bahwa Allah akan mendampingi dan tidak mungkin menyengsarakan hambaNya yang dengan setia melaksanakan kehendakNya. Bersama Maria menjadi semakin beriman berarti berani menyerahkan segala yang terjadi pada diri kita kedalam kuasa Allah, mengambil keputusan apapun resikonya demi kemuliaan Allah, setia dalam tugas tanpa menunda-nunda atau memilih-milih hanya karena menghindari tugas yang berat / tidak menjadi kesukaannya.
Keunggulan sikap Bunda Maria yang sering dicontohkan sebagai sebuah keteladanan adalah kerendahan hatinya. Sekalipun mempunyai keistimewaan, tidak pernah keistimewaan itu dijadikannya sebagai sebuah kesempatan untuk menunjukkan kesombongan, apalagi kesombongan rohani. Keistimewaan dimengerti sebagai sebuah tugas yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, bukan didepan orang (kesombongan).
Bersama Bunda Maria menjadi semakin beriman berarti kita berani melawan egoisme, memandang rendah orang lain, merasa lebih dalam imannya, atau bahkan merasa satu tingkat lebih tinggi dari kelompok lain ketika kita menjadi anggota sebuah kelompok / organisasi.
Keunggulan lain sikap Bunda Maria yang sering di jadikan contoh keteladanan adalah kesetiaan pada panggilan / kehendak Allah. Bunda Maria memandang bahwa jati diri manusia adalah ciptaan Allah, maka tidak mungkinlah melawan kehendak Allah. Jawaban aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu, adalah contoh ketaatan untuk hanya melulu melaksanakan kehendak Allah yang diyakini tidak akan mendatangkan kekecewaan. Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hatinya. Sesungguhnya mulai sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia. . . . . .” (Luk. 1: 46-55).
Sebagai anggota kelompok / organisasi, entah territorial maupun kategorial, entah sebagai imam, biarawan-biarawati, maupun awam, kecenderungan dasariah untuk tidak setia pada kelompok / organisasi sering begitu kuat. Oleh karena itu bersama Bunda Maria menjadi semakin beriman juga berarti menyadari tingkat kesetiaan kita sebagai anggota sebuah kelompok / organisasi, kesetiaan menjalankan tugas panggilan, kesetiaan pada tanggung jawab yang dipercayakan pada kita.
Penutup
Menghayati siapakah Bunda Maria bagi Gereja, bagi kita orang Katolik jauh lebih sulit daripada mengetahui siapakah Bunda Maria dari berbagai sumber atau literatur yang dengan mudah kita dapatkan. Seringkali kita merasa sangat tahu, bahkan juga pengetahuan kita sudah lebih daripada pengetahuan rata-rata kebanyakan orang. Dalam konteks menuju hidup semakin beriman, belumlah cukup hanya mengandalkan pengetahuan. Pengetahuan bisa diperoleh sebanyak apapun yang kita mau, sedangkan penghayatan dibutuhkan sikap-sikap dasariah sebagaimana diteladankan oleh Bunda Maria, yakni iman , kesetiaan serta kerendahan hati.
Demikian beberapa hal yang mungkin baik kita refleksikan bertepatan dengan perayaan besar Gereja Katolik, yakni “Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga”. Semoga Maria Bunda Segala Bangsa, pelindung Gereja kita yang hari ini diangkat ke surga selalu melindungi kita, mengantar kita menjadi semakin beriman, setia dalam berperan dan ikut ambil bagian dalam tugas-tugas pelayanan, serta rendah hati dalam hidup dan berkarya ditengah-tengah paguyuban umat beriman atau masyarakat pada umumnya.
(Artikel ini telah dimuat dalam Buletin Paroki MBSB Edisi Agustus 2015)
Pengantar
Berabad-abad lamanya para Bapa Gereja merenungkan peran Bunda Maria dalam sejarah keselamatan. Bahwa Bunda Maria sedemikian rupa ‘kalis ing sambikala’, sejak semula terlindungi dari dosa. Terhadap kesucian jiwa raga Sang Bunda ini, para Bapa Gereja meyakini bahwa Tuhan Yesus, Allah yang mewujud dalam rupa manusia itu, sejak semula memilih Maria sebagai perantara perwujudan tersebut, sehingga dihindarkan dari segala pengaruh kedosaan. Keyakinan ini menyejarah dari abad ke abad sebagai sebagai sebuah iman yang diajarkan kepada umat.
Pada tahun 1854 Paus Pius IX menetapkan kepercayaan ini sebagai ajaran resmi Gereja yang tidak dapat sesat ( dogma ), Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa. Kemudian Paus Pius XII pada tahun 1950 melalui bulla Munificentissimus Dei menyatakan Bunda Maria diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan tubuh dan jiwanya, bahwa sudah sepantasnya Santa Perawan tersuci ini diikutsertakan dalam kemuliaan Puteranya, Yesus Kristus yang naik ke surga dengan badan dan jiwaNya.
Kemudian Konsili Vatikan II, para Bapa Konsili melalui dokumen Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja, artikel 59 menyatakan: “Akhirnya, Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya”, serta menetapkan bahwa tanggal 15 Agustus adalah Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Tulisan ini tidak akan mengulas tentang sejarah konsili menetapkan hari raya tersebut, melainkan ingin mengajak para pembaca melihat realitas umat dalam mengimani Bunda Maria, terlebih menghayati Bunda Maria sebagai pelindung paroki kita.
Keunggulan Bunda Maria
Kekhasan kita sebagai orang Katolik, salah satunya adalah keterlibatan Bunda Maria dalam rencana karya keselamatan Alah. Bunda yang mengagumkan karena imannya yang sangat mendalam. Agaknya juga tidak terlalu berlebihan kalau kita memberikan gelar yang sedemikian kepada perempuan dari Nasareth ini karena kita benar-benar melihat kekaguman itu. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( Luk. 1: 38 ). Kata-kata sederhana yang diucapkan Bunda Maria perihal perkandungannya ini mencerminkan kepercayaannya pada Allah, penyerahan dirinya secara total kepada kehendak Allah. Itulah yang disebut ‘iman’. Iman yang sebegitu dalam ini menjadi keunggulan partama Bunda Maria.
Kedua, kita melihat ‘kerendahan hati’ Bunda Maria yang sungguh mempesona, sulit kita bayangkan bagaimana seorang perawan dari kampung, bukan keturunan orang penting, sederhana, miskin itu mendapatkan anugerah yang sangat mengejutkan: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi . . . . ( Luk. 1: 31-32 ). Sekalipun berita itu menggembirakan, mengangkat derajat, pangkat dan latar belakang kemiskinannya, tetapi Bunda Maria tidak menjadikannya sebagai sarana atau kesempatan untuk menyombongkan diri. Kerendahan hati Bunda Maria juga disaksikan oleh Elizabeth, ketika Maria mengunjunginya : “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku ? Sebab sesungguhnya , ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang didalam rahimku melonjak kegirangan” ( Luk. 1: 43 - 44 ). Pertemuan dua pribadi yang sama-sama sedang mengandung rahasia Ilahi ini bisa menjadi godaan untuk saling unjuk kesombongan. Tanpa penjelasan biblispun perjumpaan tersebut menjadi pemakluman kepada dunia tentang karya keselamatan Allah.
Keunggulan yang ketiga yang lebih luar biasa lagi adalah ‘kesetiaannya pada Allah’. Pertanyaan dalam hati, apakah arti salam itu atau “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Luk. 1: 34) menggambarkan sifat dasariah seorang manusia, yakni sifat ragu, takut, tidak percaya begitu saja, bahkan kadang juga menolak terhadap suatu perintah. Setelah melalui sebuah keheningan / doa , Bunda Maria menyatakan kesanggupannya: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” ( Luk. 1: 38 ). Ungkapan yang sederhana, lugas tanpa muatan kepentingan-kepentingan pribadi Bunda Maria, menggambarkan kesetiaan yang luar biasa pada panggilan Allah.
Bersama Maria Menjadi Semakin Beriman
Begitu banyak keunggulan Bunda Maria yang dapat kita temukan, namun tiga hal tersebut di atas rasanya baik untuk kita refleksikan guna membuat sebuah wujud nyata kekaguman tersebut, terlebih dalam menghayati panggilan hidup dan keterlibatan dalam karya Gereja dan masyarakat. Karena iman, Bunda Maria meyakini bahwa Allah akan setia pada janjiNya. Bunda Maria yakin bahwa Allah akan mendampingi dan tidak mungkin menyengsarakan hambaNya yang dengan setia melaksanakan kehendakNya. Bersama Maria menjadi semakin beriman berarti berani menyerahkan segala yang terjadi pada diri kita kedalam kuasa Allah, mengambil keputusan apapun resikonya demi kemuliaan Allah, setia dalam tugas tanpa menunda-nunda atau memilih-milih hanya karena menghindari tugas yang berat / tidak menjadi kesukaannya.
Keunggulan sikap Bunda Maria yang sering dicontohkan sebagai sebuah keteladanan adalah kerendahan hatinya. Sekalipun mempunyai keistimewaan, tidak pernah keistimewaan itu dijadikannya sebagai sebuah kesempatan untuk menunjukkan kesombongan, apalagi kesombongan rohani. Keistimewaan dimengerti sebagai sebuah tugas yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, bukan didepan orang (kesombongan).
Bersama Bunda Maria menjadi semakin beriman berarti kita berani melawan egoisme, memandang rendah orang lain, merasa lebih dalam imannya, atau bahkan merasa satu tingkat lebih tinggi dari kelompok lain ketika kita menjadi anggota sebuah kelompok / organisasi.
Keunggulan lain sikap Bunda Maria yang sering di jadikan contoh keteladanan adalah kesetiaan pada panggilan / kehendak Allah. Bunda Maria memandang bahwa jati diri manusia adalah ciptaan Allah, maka tidak mungkinlah melawan kehendak Allah. Jawaban aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu, adalah contoh ketaatan untuk hanya melulu melaksanakan kehendak Allah yang diyakini tidak akan mendatangkan kekecewaan. Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hatinya. Sesungguhnya mulai sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia. . . . . .” (Luk. 1: 46-55).
Sebagai anggota kelompok / organisasi, entah territorial maupun kategorial, entah sebagai imam, biarawan-biarawati, maupun awam, kecenderungan dasariah untuk tidak setia pada kelompok / organisasi sering begitu kuat. Oleh karena itu bersama Bunda Maria menjadi semakin beriman juga berarti menyadari tingkat kesetiaan kita sebagai anggota sebuah kelompok / organisasi, kesetiaan menjalankan tugas panggilan, kesetiaan pada tanggung jawab yang dipercayakan pada kita.
Penutup
Menghayati siapakah Bunda Maria bagi Gereja, bagi kita orang Katolik jauh lebih sulit daripada mengetahui siapakah Bunda Maria dari berbagai sumber atau literatur yang dengan mudah kita dapatkan. Seringkali kita merasa sangat tahu, bahkan juga pengetahuan kita sudah lebih daripada pengetahuan rata-rata kebanyakan orang. Dalam konteks menuju hidup semakin beriman, belumlah cukup hanya mengandalkan pengetahuan. Pengetahuan bisa diperoleh sebanyak apapun yang kita mau, sedangkan penghayatan dibutuhkan sikap-sikap dasariah sebagaimana diteladankan oleh Bunda Maria, yakni iman , kesetiaan serta kerendahan hati.
Demikian beberapa hal yang mungkin baik kita refleksikan bertepatan dengan perayaan besar Gereja Katolik, yakni “Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga”. Semoga Maria Bunda Segala Bangsa, pelindung Gereja kita yang hari ini diangkat ke surga selalu melindungi kita, mengantar kita menjadi semakin beriman, setia dalam berperan dan ikut ambil bagian dalam tugas-tugas pelayanan, serta rendah hati dalam hidup dan berkarya ditengah-tengah paguyuban umat beriman atau masyarakat pada umumnya.