Penyebaran virus corona yang masif dan nyaris tak terbendung telah membuat negara-negara kelabakan menghadapinya. Di Indonesia, angka masyarakat yang terpapar setiap harinya kian signifikan dan diikuti oleh angka kematian yang terus menjulang. Sungguh, pendemi ini membuat negeri ini berada dalam ancaman amat nyata, karena efeknya amat meluas, tidak hanya secara medis, tetapi juga terhadap daya tahan perekonomian nasional, termasuk stabilitas politik. Jika tidak ditangani dengan baik dan sungguh-sungguh, tak mustahil, pukulan covid-19 akan menyeret negeri ini ke jurang krisis yang maha berat.
Persoalan Agama
Namun determinasi covid-19 tak hanya mengancam institusi sipil (negara), tetapi juga membuat agama-agama seoalah-olah “mati gaya”. Pukulan telak covid 19 membuat agama terlihat rapuh dan usang, bagai bangkai yang pelan-pelan ditinggalkan. Rumah-rumah ibadah yang berdiri megah di mana-mana kini menjadi sepi. Tak ada lagi perayaan keagamaan yang bersifat massal. Covid 19 membuat kegidayaan dan hegemoni agama berada dalam titik nadir. Bencana yang ditimbulkan covid 19 memberikan pelajaran penting bahwa agama sebagai institusi juga amat rentan terhadap berbagai ancaman dan tantangan. Agama juga rapuh, rentan dan dapat berada dalam krisis. Agama tak pernah imun atau kebal dari berbagai intervensi tak terduga yang datang kapan dan dari mana saja. Walau sering mengabsolutkan dirinya sebagai sumber kebenaran paripurna, namun ternyata agama rentan dan dapat runtuh, termasuk sekarang ini oleh wabah covid 19. Dengan covid 19, mata kita melihat bahwa agama tidak kebal, hanya Tuhan yang senantiasa kebal dan kekal. Hanya Tuhan yang abadi dan memiliki kebaikan serta kebenaran paripurna. Sementara agama akan senantiasa berada dalam berbagai ancaman, lebih-lebih jika dia tidak setia, tidak jujur, tidak kreatif dan tidak kontekstual membawa serta menghadirkan Tuhan di tengah dunia. Upaya membawa, merefleksikan dan menghadirkan Tuhan di tengah dunia dikenal dengan sebutan teologi. Agama yang tidak kreatif dan tidak kontekstual berteologi di tengah dunia, apalagi di tengah krisis dan kerentanan seperti akibat pendemi covid 19 saat ini, cenderung akan rapuh, tak berdaya, usang, dan tak relevan.
Kontekstualisasi Teologi
Dengan demikian, upaya berteologi secara kontekstual bukan lagi sebuah pilihan tetapi merupakan sebuah imperatif jika agama ingin tetap berperan relevan dan signifikan. Dalam Gereja Katolik, kontekstualisasi teologi merupakan usaha untuk merefleksikan Tuhan dengan sungguh-sungguh mempertenggangkan dua hal sekaligus yaitu konteks dan pengalaman masa lampau dan konteks serta pengalaman aktual masa kini (Bevans: 2002). Konteks dan pengalaman masa lampau yang maksudkan adalah semua perbendaharaan iman yang tercatat dan terekam dalam Kita Suci dan diwariskan serta dipertahankan dalam tradisi gereja. Sementara konteks dan pengalaman aktual masa kini adalah segala bentuk pengalaman individual dan sosial, pengalaman religius maupun sekular, lokasi dan perubahan sosial. Dalam perspektif Kristiani, kontekstualisasi teologi bukanlah imperatif yang dipaksakan dari luar, melainkan sebuah keniscayaan internal teologi Kristiani itu sendiri. Teologi Kristiani memang harus kontekstual karena ciri inkarnatif dan sakramental dari kekristenan. Artinya iman Kristiani mengakui Allah yang menjelma menjadi manusia hadir dan bergiat dalam seluuh duka dan kecemasan manusia dan dunia sepanjang zaman. Dia tidak jauh dan berada di ketinggian, tetapi Dia senantiasa dekat dan bergiat bersama umat-Nya. Dengan masuk sejarah manusia, Alllah membuat manusia dan dunia ini menjadi kudus dan sakramental. Maka tugas teologi adalah secara kreatif dan kontekstual menyingkapkan kehadiran Allah di tengah dunia yang benar-benar kudus dan sakramental ini. Teologi harus mampu terus menerus menghadirkan Yesus yang berkarya secara kontekstual dua ribuan tahun lalu ke dalam dunia zaman ini dengan segala tantangan dan kerumitannya, lebih-lebih di tengah duka dan derita akibat hegemoni tak terkendali covid 19. Teologi harus secara segar, aktif dan kontekstual membuat Tuhan dialami oleh orang beriman zaman ini, termasuk di saat mereka tidak lagi merayakan perayaan ritual keagamaan secara massal di rumah ibadah.
Inspirasi Kemanusiaan
Teologi tidak boleh turut kaku dan membisu di tengah bencana, bagai gedung gereja dan kapela yang sunyi di tengah wabah ini. Sebaliknya, kondisi krisis saat ini harus menjadi peluang bagi teologi untuk terus menerus mengkontekstualisasikan dirinya agar semakin mampu mencegah penyekapan Tuhan dalam ritualisme yang kelihatan rapi, riuh dan meriah, tetapi tanpa nurani kemanusiaan. Teologi mesti sanggup membawa umat beriman untuk senantiasa mengakhiri pengurungan Tuhan dalam tempat-tempat yang dianggap suci dan mendikotomikan tempat suci itu dengan ladang kehidupan yang umum. Dengan terus menerus mewujudkan dirinya secara kontekstual, teologi akan sanggup menolong Gereja (agama) agar hadir semakin relevan dan signifikan, serta semakin mampu mengemban misi kemanusiaan autentik. Di tengah merebaknya pendemi covid 19, teologi sekurang-kurangnya perlu menyumbangkan beberapa hal mendasar berikut.
Pertama, teologi perlu menolong Gereja (agama) agar sanggup membaca dan menafsirkan kehendak Tuhan di balik kejadian-kejadian konkret kemanusiaan saat ini, termasuk di tengah penyebaran covid 19. Teologi harus mampu menujukkan di mana posisi di Tuhan di tengah derita covid 19 dan apa perannya di tengah krisis ini. Teologi perlu menerangkan bahwa Tuhan tak cukup dirayakan secara meriah dan massal, tetapi Tuhan juga perlu dirayakan secara pribadi, dalam kesendirian dan kesunyian di tengah pergulatan hidup yang nyata.
Kedua, teologi mesti menjadi spirit dan inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan kemanusiaan dan kesukarelaan, karena aksi-aksi kemanusiaan merupakan bagian hakiki dari ekspresi iman Kristiani.
Ketiga, teologi mesti membantu Gereja untuk menjelaskan pentingnya membangun jejaring dan kerja sama dengan berbagai pihak. Temasuk mengakui kemajuan dan perkembangan teknologi modern, serta terampil dan tidak gagap memanfaatkan teknologi informasi dan berbagai kemajuan serta perkembangan terbaik zaman ini.
Keempat, teologi mesti aktif mempromosikan budaya kehidupan dengan menebarkan semangat pengharapan bahwa dengan kerja keras dan kemauan untuk menaati protokol kesehatan pemerintah, serta oleh bantuan Tuhan, wabah ini pasti segera berakhir.
RD. Benny Denar
Persoalan Agama
Namun determinasi covid-19 tak hanya mengancam institusi sipil (negara), tetapi juga membuat agama-agama seoalah-olah “mati gaya”. Pukulan telak covid 19 membuat agama terlihat rapuh dan usang, bagai bangkai yang pelan-pelan ditinggalkan. Rumah-rumah ibadah yang berdiri megah di mana-mana kini menjadi sepi. Tak ada lagi perayaan keagamaan yang bersifat massal. Covid 19 membuat kegidayaan dan hegemoni agama berada dalam titik nadir. Bencana yang ditimbulkan covid 19 memberikan pelajaran penting bahwa agama sebagai institusi juga amat rentan terhadap berbagai ancaman dan tantangan. Agama juga rapuh, rentan dan dapat berada dalam krisis. Agama tak pernah imun atau kebal dari berbagai intervensi tak terduga yang datang kapan dan dari mana saja. Walau sering mengabsolutkan dirinya sebagai sumber kebenaran paripurna, namun ternyata agama rentan dan dapat runtuh, termasuk sekarang ini oleh wabah covid 19. Dengan covid 19, mata kita melihat bahwa agama tidak kebal, hanya Tuhan yang senantiasa kebal dan kekal. Hanya Tuhan yang abadi dan memiliki kebaikan serta kebenaran paripurna. Sementara agama akan senantiasa berada dalam berbagai ancaman, lebih-lebih jika dia tidak setia, tidak jujur, tidak kreatif dan tidak kontekstual membawa serta menghadirkan Tuhan di tengah dunia. Upaya membawa, merefleksikan dan menghadirkan Tuhan di tengah dunia dikenal dengan sebutan teologi. Agama yang tidak kreatif dan tidak kontekstual berteologi di tengah dunia, apalagi di tengah krisis dan kerentanan seperti akibat pendemi covid 19 saat ini, cenderung akan rapuh, tak berdaya, usang, dan tak relevan.
Kontekstualisasi Teologi
Dengan demikian, upaya berteologi secara kontekstual bukan lagi sebuah pilihan tetapi merupakan sebuah imperatif jika agama ingin tetap berperan relevan dan signifikan. Dalam Gereja Katolik, kontekstualisasi teologi merupakan usaha untuk merefleksikan Tuhan dengan sungguh-sungguh mempertenggangkan dua hal sekaligus yaitu konteks dan pengalaman masa lampau dan konteks serta pengalaman aktual masa kini (Bevans: 2002). Konteks dan pengalaman masa lampau yang maksudkan adalah semua perbendaharaan iman yang tercatat dan terekam dalam Kita Suci dan diwariskan serta dipertahankan dalam tradisi gereja. Sementara konteks dan pengalaman aktual masa kini adalah segala bentuk pengalaman individual dan sosial, pengalaman religius maupun sekular, lokasi dan perubahan sosial. Dalam perspektif Kristiani, kontekstualisasi teologi bukanlah imperatif yang dipaksakan dari luar, melainkan sebuah keniscayaan internal teologi Kristiani itu sendiri. Teologi Kristiani memang harus kontekstual karena ciri inkarnatif dan sakramental dari kekristenan. Artinya iman Kristiani mengakui Allah yang menjelma menjadi manusia hadir dan bergiat dalam seluuh duka dan kecemasan manusia dan dunia sepanjang zaman. Dia tidak jauh dan berada di ketinggian, tetapi Dia senantiasa dekat dan bergiat bersama umat-Nya. Dengan masuk sejarah manusia, Alllah membuat manusia dan dunia ini menjadi kudus dan sakramental. Maka tugas teologi adalah secara kreatif dan kontekstual menyingkapkan kehadiran Allah di tengah dunia yang benar-benar kudus dan sakramental ini. Teologi harus mampu terus menerus menghadirkan Yesus yang berkarya secara kontekstual dua ribuan tahun lalu ke dalam dunia zaman ini dengan segala tantangan dan kerumitannya, lebih-lebih di tengah duka dan derita akibat hegemoni tak terkendali covid 19. Teologi harus secara segar, aktif dan kontekstual membuat Tuhan dialami oleh orang beriman zaman ini, termasuk di saat mereka tidak lagi merayakan perayaan ritual keagamaan secara massal di rumah ibadah.
Inspirasi Kemanusiaan
Teologi tidak boleh turut kaku dan membisu di tengah bencana, bagai gedung gereja dan kapela yang sunyi di tengah wabah ini. Sebaliknya, kondisi krisis saat ini harus menjadi peluang bagi teologi untuk terus menerus mengkontekstualisasikan dirinya agar semakin mampu mencegah penyekapan Tuhan dalam ritualisme yang kelihatan rapi, riuh dan meriah, tetapi tanpa nurani kemanusiaan. Teologi mesti sanggup membawa umat beriman untuk senantiasa mengakhiri pengurungan Tuhan dalam tempat-tempat yang dianggap suci dan mendikotomikan tempat suci itu dengan ladang kehidupan yang umum. Dengan terus menerus mewujudkan dirinya secara kontekstual, teologi akan sanggup menolong Gereja (agama) agar hadir semakin relevan dan signifikan, serta semakin mampu mengemban misi kemanusiaan autentik. Di tengah merebaknya pendemi covid 19, teologi sekurang-kurangnya perlu menyumbangkan beberapa hal mendasar berikut.
Pertama, teologi perlu menolong Gereja (agama) agar sanggup membaca dan menafsirkan kehendak Tuhan di balik kejadian-kejadian konkret kemanusiaan saat ini, termasuk di tengah penyebaran covid 19. Teologi harus mampu menujukkan di mana posisi di Tuhan di tengah derita covid 19 dan apa perannya di tengah krisis ini. Teologi perlu menerangkan bahwa Tuhan tak cukup dirayakan secara meriah dan massal, tetapi Tuhan juga perlu dirayakan secara pribadi, dalam kesendirian dan kesunyian di tengah pergulatan hidup yang nyata.
Kedua, teologi mesti menjadi spirit dan inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan kemanusiaan dan kesukarelaan, karena aksi-aksi kemanusiaan merupakan bagian hakiki dari ekspresi iman Kristiani.
Ketiga, teologi mesti membantu Gereja untuk menjelaskan pentingnya membangun jejaring dan kerja sama dengan berbagai pihak. Temasuk mengakui kemajuan dan perkembangan teknologi modern, serta terampil dan tidak gagap memanfaatkan teknologi informasi dan berbagai kemajuan serta perkembangan terbaik zaman ini.
Keempat, teologi mesti aktif mempromosikan budaya kehidupan dengan menebarkan semangat pengharapan bahwa dengan kerja keras dan kemauan untuk menaati protokol kesehatan pemerintah, serta oleh bantuan Tuhan, wabah ini pasti segera berakhir.
RD. Benny Denar