PENGHAYATAN IMAN DALAM KELUARGA

author photo July 24, 2016
Oleh: RD. Yohanes Suradi
(Artikel ini telah dimuat dalam Buletin Paroki MBSB Edisi Juli 2016)

Iman Bertumbuh dalam Hidup Keseharian

Iman adalah kepercayaan pada Tuhan, penyerahan diri secara total kepada kehendak Tuhan. Iman juga berarti mengenakan Tuhan sebagai satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Mateus dalam Injilnya mengisahkan bagimana imannya sungguh nyata dalam sikap menanggapi panggilan Tuhan. Mateus dikisahkan sedang termenung di gardu cukai, istirahat atau bahkan tidak bekerja pada hari itu, merenung tentang perilaku sehari-harinya menagih pajak, melaksanakan kesanggupannya sebagai penarik pajak untuk Negara.

Agaknya Mateus sampai pada sebuah kesadaran bahwa kerjanya banyak mendatangkan musuh, memaksa orang untuk membayar pajak,sekalipun sesungguhnya sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara. Mateus menyadari bahwa hidup memiliki musuh itu tidak nyaman, menjadi buah bibir dalam masyarakat, dijauhi oleh banyak orang. Mateus barangkali juga menyadari bahwa memaksa orang untuk membayar lebih dari yang seharusnya dibayarkan sebagai penghasilan, sebagai penghasilan pribadinya adalah perbuatan yang tidak baik. Mateus mungkin juga merasa bahwa kadangkala kewajiban wajib pajak terhadap Negara tidak seluruhnya disetorkan pada Negara.

Kesadaran Mateus membuka mata dan telinganya terhadap sapaan Tuhan. Dalam permenungan kesadarannya Mateus mendengarkan Yesus: “Pada suatu hari, Yesus melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku”. Maka berdirilah Matius lalu mengikuti Dia” (Mat. 9: 9). Selama ini mungkin Matius tidak pernah menggubris kata-kata Yesus, atau barangkali tidak tertarik mendengarkan Yesus. Pada saat itu Matius begitu terpesona pada kata-kata Yesus, yang secara tidak sengaja lewat rumah cukai yang mungkin juga dengan tidak sengaja saat itu Mateus sedang duduk disitu.

Keterpesonaan Mateus itu menyebabkan Mateus mengikuti Yesus, dan tidak di sangka-sangka Yesus mampir ke rumahnya, bahkan berkenan makan bersama di rumahnya: “Kemudian ketika Yesus makan di rumah Mateus, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama dengan Dia dan murid-muridNya” (Mat. 9: 10). Peristiwa makan bersama itu menyadarkan Mateus, para pemungut cukai yang lain serta orang-orang Farisi yang sering dianggap sok suci, ketika Yesus mengatakan: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini. Yang Kukehendaki ialah belaskasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat. 9: 12-13).

Bagi Mateus, iman itu tumbuh melalui pengalaman hidup yang jauh dari sifat-sifat hidup beriman. Mateus menyadari bahwa hidupnya sudah jauh dari Tuhan, diingatkan melalui suara Tuhan yang memanggilnya untuk mengikutiNya. Sebuah keputusan yang tidak mudah untuk dilakukan. Hanya karena kesadaran diri akan perlunya kebahagiaan rohani dibalik kebahagiaan jasmani yang menggelimang selama ini. Kata lain dari kesadaran ini adalah ‘pertobatan’. Itulah iman bagi Mateus.

Ajaran Iman dalam Gereja Katolik

Iman dalam keluarga tumbuh melalui beragam cara. Keluarga katolik menumbuhkan iman dengan membabtiskan anak-anak sesegera mungkin setelah lahir. Ada pula iman tumbuh setelah seseorang dewasa dalam usia. Entah babtis bayi / kanak-kanak maupun dewasa sesungguhnya hanya merupakan menanamkan dasar iman dalam diri seseorang, artinya belum menjadi jaminan bahwa iman akan bertumbuh seperti yang diharapkan pada saat babtisan diberikan. Iman bukan penandaan salib pada saat lahir kembali ( babtis ) dan ditandai salib kembali ketika seseorang dimasukkan ke liang kubur. Artinya iman itu bukan bicara soal babtisan, melainkan soal penghayatan dalam hidup sehari-hari akan pembabtisan tersebut.

Contoh-contoh nyata persoalan diatas tidak sedikit kita temukan dalam hidup sehari-hari di sekitar kita. Ada seseorang yang berasal dari keluarga katolik, orang tua memegang hukum dan peraturan Gereja Roma Katolik membabtiskan anak secepatnya setelah lahir, sekolah dan kuliah di lembaga pendidikan katolik, orang tua bahkan aktif dalam hidup menggereja, pacaran dengan orang bukan katolik, menikah tidak secara katolik, bahkan sampai menyatakan diri pindah agama ke agama yang dianut pasangannya. Bagaimana babtisan itu dihayati dalam keluarga ? Salahkah orang tua mendidik anak ? Bagaimana nasib orang yang sudah dibabtis dengan imannya yang menyatakan pindah agama ?
Gereja Katolik idak pernah menolak perkawinan beda agama atau beda gereja. Perlu diingat bahwa babtisan adalah meterai kekal (bagaikan tatto permanen dalam tubuh) yang tidak bisa dihapus sekalipun yang bersangkutan memeluk agama lain. Gereja menghendaki agar perkawinan dilangsungkan dengan tata cara katolik, tanpa mengkatolikkan calon pasangan yang tidak katolik. Kehendak Gereja Katolik ini sebenarnya semata-mata mau menjaga babtisan yang bersifat kekal pihak yang dibabtis, agar tidak kehilangan hak sebagai oang yang dibabtis. Jadi, seorang yang dibabtis katolik, ketika dirinya meninggalkan kekatolikannya, apapun alasannya, akan kehilangan hak kekatolikannya. Apabila suatu ketika akan kembali ke katolik, harus menjalani masa katekumenat (belajar agama seperti para calon babtis dalam periode waktu yang ditentukan oleh pastor paroki) sebelum pengakuan dosa, sebagai persyaratan kembali ke katolik.

Demikian pula halnya dengan seorang katolik, mengingkari janji kesetiaan sebagai istri / suami melalui sebuah perkawinan, meninggalkan pasangannya untuk kawin lagi dengan laki-laki / perempuan lain, atau sekedar menjadikannya sebagai suami / istri tanpa ikatan perkawinan, akan kehilangan hak kekatolikannya. Perkawinan Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, yakni meninggalkan suami / istri dengan alasan apapun sampai kematian memisahkannya. Perkawinan Gereja Katolik tidak mengenal poligami (laki-laki mempunyai istri lebih dari satu),  poliandri (perempuan mempunyai lebih dari satu suami).

Usaha untuk mengingkari kesetiaan dengan melakukan perceraian, poligami / poliandri, bahkan menjadikannya sebagai suami / istri sekalipun tanpa ikatan perkawinanpun menjadi halangan mendapatkan haknya sebagai seorang katolik. Seorang katolik yang terikat oleh perkawinan sebelumnya secara apapun, terhalang untuk melaksanakan perkawinan secara katolik, apalagi menyambut komuni kudus, bahkan menjadi halangan dalam banyak hal ketika dirinya akan aktif ambil bagian dalam tugas-tugas yang menjadi hak dan kewajiban seorang awam katolik. Itulah yang disebut dengan kehilangan hak sebagai seorang katolik.

Seorang katolik yang karena kekecewaannya terhadap Gereja Katolik, kemudian menyatakan diri keluar dari Gereja, termasuk melakukan halangan publik ketika keinginan tersebut terdengar oleh orang lain, yang menyebabkan dirinya kehilangan hak kekatolikannya. Maka agar bisa kembali menjadi seorang katolik juga harus menjalani masa katekumenat dalam waktu yang ditentukan oleh pastor paroki serta kemudian melakukan pengakuan dosa.  Dengan kata lain, kembalinya seseorang yang dibabtis secara katolik ke Gereja Katolik tidak semudah membalik telapak tangan atau selesai dengan masuk gereja dengan tanpa merasa berdosa menerima komuni suci begitu saja, melainkan harus melalui serangkaian proses sebagaimana diatur oleh Kitab Hukum Kanonik atau ketetapan Uskup Deosesan sebagai pemegang teguh Ajaran Gereja Katolik.

Satu contoh lagi yang barangkali karena ketidaktahuan atau tidak disadari tetapi pernah terjadi, yakni aborsi / pengguguran kandungan. Aborsi termasuk mengingkari kehendak Allah tentang keturunan sebagai hak Allah yang menciptakan kehidupan. Melakukan Aborsi termasuk dosa berat, dahulu hanya Uskup yang bisa memberikan absolusi (pelepasan dosa) tersebut. Kewenangan absolusi atas dosa aborsi sekarang diberikan kepada setiap imam yang sudah mendapatkan fakultas dari Uskup Deosesan untuk mendengarkan pengakuan, asalkan si pelaku aborsi menyadari bahwa aborsi adalah melakukan dosa berat dan diyakini bahwa dosa tersebut tidak akan diuangi lagi. Aborsi menyebabkan seorang katolik kehilangan hak kekatolikannya, sebaiknya tidak menyambut komuni sebelum melakukan pengakuan dosa.

Penghayatan Iman dalam Keluarga

Melalau pengalaman Mateus dalam Injil kita melihat bahwa iman tumbuh dari peristiwa hidup sehari-hari, bahkan pengalaman jauh dari Tuhan. Matius mengalami pertobatan, titik balik dari kehidupan yang jauh dari Tuhan menjadi Matius yang mendengar suara Tuhan. Titik balik atau pertobatan itu dilakukan dengan mengikutiNya tanpa syarat.

Mengikuti Yesus tanpa syarat bagi Mateus menjadi sebuah cara untuk menumbuhkan iman yang tertanam ketika mendengarkan panggilanNya di gardu cukai. Mateus tidak puas hanya menjawab panggilan Tuhan, melainkan harus mengikutiNya supaya kekagumannya terhadap Yesus semakin dalam, mendengarkan ajaranNya serta melakukan perintahNya. Itulah cara Mateus menghayati iman yang diakuinya di gardu cukai dengan meninggalkan masa lalunya yang kelam.

Penghayatan iman dalam keluarga bagi kita adalah ketika kita tidak sekedar  bangga sebagai seorang katolik, melainkan kebanggaan itu terwujud dalam kesetiaan sebagai orang yang dibabtis. Mempertahankan kekatolikan bukan sesuatu yang mudah, terutama di era pesatnya perkembangan ilmu dan tehnologi, sarana prasarana komunikasi dan pergaulan dengan mudah didapatkan, budaya konsumerisme yang jauh lebih menjanjikan kebahagiaan daripada yang dijanjikan oleh agama dan iman. Kuncinya adalah bahwa kebahagiaan duniawi ini bersifat sesaat, tidak akan menjadi bekal kehidupan kekal, selain kebahgiaan rohani, yakni terpenuhinya kebutuhan akan iman dan relasi dengan Tuhan.
Penghayatan iman dalam keluarga juga berarti ketika para suami / istri setia pada janji perkawinanannya, patut menjadi contoh bagi anak cucu mereka kebahagiaan pasangan suami-istri yang setia pada perjanjian sampai ajal menjemput mereka. Berani meninggalkan egoisme, keinginan mencari kebahagiaan pribadi dengan harmonisasi dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.

Penghayatan iman dalam keluarga juga berarti setiap orang menghargai kehidupan yang merupakan anugerah Allah demi kebahagiaan manusia. Sejak semula Allah menciptakan kehidupan baik adanya, termasuk bayi dalam kandungan. Jangan sampai bayi-bayi yang tidak berdosa itu menjadi korban kebahagiaan sesaat orang tuanya sehingga dengan mudahnya, tanpa merasa berdosa melakukan aborsi. Pria dan wanita katolik hendaklah menjadi contoh menghargai kehidupan, menghargai alam semesta dan menghargai sesama manusia ciptaan Tuhan, apalagi janin dalam kandungan yang diberi nafas kehidupan oleh Tuhan sendiri. Amin.
Next article Next Post
Previous article Previous Post